
Masjid Kampus UGM kembali mengadakan Webinar Integrasi Ilmu-Agama, melanjutkan seri Studi Lingkungan Hidup pada Rabu (22/10/2025) melalui Zoom Meeting serta ditayangkan secara langsung melalui kanal YouTube Masjid Kampus UGM. Webinar kali ini mengusung tema “Perargoforestrian dan Investasi Hijau dalam Islam: Dekolonisasi Scentific Foresty untuk Menangani Deforestasi Global” dibersamai oleh Prof. Priyono Suryanto, S.Hut., M.P., Ph.D. (Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM) selaku pembicara.
Priyono mengawali paparan kajiannya dengan hal yang mendasari tema pembahasan kali ini. “Hampir semua memberikan satu tinjauan bahwa ada permasalahan global terkait dengan bumi ini,” jelasnya. Beliau menambahkan bahwa dalam peninjauan tersebut, ekonomi global yang ekstraktif itu bukan sekadar sistem produksi, melainkan struktur pengetahuan yang melanggengkan eksploitasi manusia atas alam sehingga diperlukan revolusi epistemik atau perubahan paradigma berpikir yang menuntun ilmu kembali pada nilai etik, spiritual, dan ekologis.
Dalam paparannya, Priyono menyajikan sebuah makna simbolik dalam Al-Qur’an Surah Yusuf ayat 43 mengenai tujuh sapi gemuk dan tujuh sapi kurus yang kemudian Nabi Yusuf menafsirkannya sebagai tanda akan datangnya tujuh tahun masa kemakmuran (panen berlimpah) dan tujuh tahun masa paceklik (krisis pangan). Beliau mengaitkan ini dengan konteks di Indonesia, “Yang dalam konteks ini, mungkin Indonesia menerjemahkan sebagai food estate.” “Sebagai contoh, dalam pembukaan area baru dari hutan menjadi kawasan food estate itu tidak ada upaya awal untuk menampung ekosistem awalnya,” tambah beliau.
“Ada pertanian, ada perkebunan, ada perhutanan, maka sektor terbaru ini adalah peragroforestrian,” jelas Priyono. Beliau menyampaikan, “Ada sebuah warisan agung dari praktik perladangan berputar. Orang mengenalnya sebagai perladangan berpindah. Awalnya memang tebas dan bakar sehingga dipandang sebagai satu tindakan berladang yang merusak.” Namun, kalau dilihat secara keseluruhan, beliau menjelaskan bahwa orang Kalimantan menyebutnya sebagai perawas, tahapan dari sistem perladangan.
Priyono melanjutkan penjelasannya, “Ternyata Bawas Agung, lahan-lahan hutan tadi yang dibuka, tebas dan bakar itu, kemudian ditanami tanaman semusim dan lanjut diberokan sampai pada Bawas Agung, Bawas Agung itu miniaturnya sudah seperti hutan alam.” Lanjut, “Artinya, kalau perladangan berhutan ini dilihat secara utuh sebagai sebuah agroforest authentic Nusantara, maka praktik berladang itu ternyata mampu mereproduksi ekosistem hutan.”
Pada penghujung kajiannya, Priyono melihat kondisi masa kini yang mana hutan dan ekosistem hutan itu sudah berpisah dalam tata atur baku hutan. Hal ini berarti tidak semua hutan itu berekosistem hutan. Mengintegrasikan ilmu kehutanan dan Islam, beliau menyampaikan, “Dalam konteks alam ini rusak lagi, kita harus kembali ke bahwa ada nilai-nilai ukhuwah yang tidak hanya kelestarian hasil, tapi ada keberkahan yang berkelanjutan. Keberkahan berkelanjutan inilah sebenarnya aspek-aspek dari ekonomi hijau yang ditransformasi menjadi investasi hijau.” (Miftahul Khairati)