Sejarah Masjid Kampus UGM

Pembangunan Masjid Kampus

Pada tanggal 21 Mei 1998, tepat pada saat Presiden Soeharto lengser, panitia pembangunan masjid kampus tengah menentukan arah kiblat dengan melibatkan pihak Departemen Agama RI (Depag) dan tim dari jurusan Teknik Geodesi UGM. Setelah arah kiblat ditentukan, pembangunan Masjid Kampus kemudian diawali dengan kegiatan peletakan batu pertama secara teknis yang hanya dihadiri oleh beberapa orang panitia pembangunan Masjid Kampus. Selanjutnya, pembangunan Masjid Kampus pun dimulai dengan hanya berbekal Rp 60 juta (dana yang sebelumnya didapat sudah digunakan untuk memindahkan makam dari tanah Masjid Kampus).

 

Masjid Kampus Reformasi UGM 10 Tahun

Kegiatan keagamaan Islam di UGM sudah lama diselenggarakan di kampus. Kegiatan lslam yang dikaitkan dengan berdirinya masjid di kampus mungkin diawali ketika Presiden Soekarno pada akhir kekuasaannya mendorong ITB untuk mendirikan masjid yang berlokasi berhadapan dengan kampus ITB. Karena keterkaitannya dengan ITB Presiden Soekarno memberi nama masjid tersebut Salman. Nama Salman Al Farisi adalah nama salah seorang sahaat nabi yang dikenal sebagai arsitek strategi perang pada jaman Nabi Muhammad SAW. Masjid ini mulai digunakan pada tahun 1972. Masjid yang dibangun berkaitan dengan kampus terdapat juga di kampus Ul Salemba. Masjid ini dibangun untuk memperingati terbunuhnya mahasiswa Ul ketika terjadi demo mahasiswa tahun 1965, karena itu masjid ini sebagai penghormatan terhadap mahasiswa yang terbunuh tersebut diberi nama Arif Rachman Hakim. Sementara itu kegiatan keagamaan Islam di kampus UGM juga secara intensif dilakukan pada tahun-tahun yang sama tetapi kegiatannya bukan di masjid melainkan di gedung Gelanggang Mahasiswa, Bulaksumur.

Kegiatan keagamaan Islam yang dipusatkan di Gelanggang Mahasiswa makin lama makin tidak memadai karena Gelanggang Mahasiswa juga dipergunakan untuk kegiatan mahasiswa yang lain. Prof. Koesnadi Hardjasumantri yang menjabat Rektor UGM mempunyai ide untuk membangun Masjid Kampus. Dan gagasan ini bisa terlaksana pada saat klimaknya gerakan reformasi yang UGM menjadi salah satu inisiator dan pusat dari gerakan.

 

Penyiapan Lokasi

Langkah awal dalam pembangunan Masjid Kampus UGM adalah mencari lokasi yang tepat. Pada masa awal pencarian lokasi ini, belum terbentuk panitia khusus. Pencarian lokasi Masjid Kampus dilakukan oleh Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (Rektor UGM waktu itu) bersama dosen muda Syaukat Ali dan pada pencarian pertama menemukan lokasi di sebelah Utara Fakultas Teknik. Di lahan tersebut tengah dibangun sebuah masjid baru (saat ini telah menjadi masjid Siswa Graha). Sehingga diputuskan untuk kembali mencari lokasi lain.

Pencarian kedua mendapatkan lokasi komplek makam Tionghoa yang ada di sebelah Timur UGM. Status lahan tersebut ternyata masih merupakan tanah Kraton (Sultan Ground). Kondisi lahan tersebut membawa dua konsekuensi, yang pertama terkait dengan penggunaan lahan sebagai makam Tionghoa sehingga harus memindahkan makam. Yang kedua terkait dengan status tanah Keraton sehingga panitia harus mengurus perizinan.

Untuk merealisasikan gagasan pendirian masjid ini, Prof. Koesnadi sebagai Rektor mengumpulkan beberapa mahasiswa arsitek untuk membuat desain masjid. Setelah desain masjid selesai dan perencanaan lebih siap, Prof. Adnan sebagai Rektor berikutnya, mengeluarkan SK kepanitiaan yang menunjuk Prof. Koesnadi Hardjasoemantri sebagai ketua panitia pembangunan masjid kampus.

Walaupun persiapan dan panitia pembangunan masjid sudah matang, realisasinya tidak mudah dimulai terutama karena persoalan yang menyangkut lokasi di pekuburan Tionghoa . Status makam Tionghoa ini sebenarnya sudah tidak “aktif” lagi, dalam arti tidak ada makam baru. Secara organisasional, makam Tionghoa dikelola oleh organisasi-organisasi pemakaman, di antaranya adalah PUKJ (Perkumpulan Urusan Kematian Jogjakarta) yang saat itu dipimpin oleh Onggo Hartono, seorang pengusaha besar (antara lain pemilik Hotel Saphir). PUKJ keberatan apabila lahan pekuburan ini dipakai untuk keperluan lain berhubung hal itu akan menyangkut masalah pemindahan makam dan masalah ahli waris dari makam-makam tersebut.

Di sisi lain, setelah melalui rembugan dengan Kraton selaku pemilik lahan dari makam Tionghoa, pihak Kraton memutuskan bahwa makam tersebut boleh dijadikan lahan masjid tanpa perlu mengganti harga tanahnya. Dengan demikian, panitia menetapkan makam sebagai lokasi bakal Masjid Kampus. Kemudian penyiapan lokasi berlanjut pada pencarian lokasi tempat pemindahan makam. Panti Kesmo Kraton sempat mengusulkan dua nama, yaitu Gunung Sempu dan sebuah lokasi di Gamping. Lokasi kedua tersebut bersebelahan dengan makam pejuang Mataram namun tidak masuk dalam daftar orang yang dapat dimakamkan di makam pahlawan. Dalam pengurusan izin dengan pengurus makam mengajukan keberatan dengan alasan hal tersebut akan tidak menghormati pejuang yang dimakamkan di sana.

Usaha pencarian lokasi pemindahan makam terus dilanjutkan. Pada usaha kali ketiga ini, didapatkan lahan di daerah Piyungan. Lokasi ketiga ini cukup tinggi, sehingga sesuai dengan kultur masyarakat mengenai lokasi pemakaman. Setelah ada persetujuan dari semua pihak dilakukan sosialisasi pada desa yang bersangkutan melalui perkumpulan. Kegiatan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk kerja bakti. Dalam sosialisasi tersebut didapatkan semacam perjanjian bahwa urusan penggalian di Piyungan diserahkan pada tenaga kerja lokal.

Setelah lahan lokasi pemindahan makam didapatkan, dimulai pencarian ahli waris untuk mendapat persetujuan pemindahan makam. Jumlah makam yang harus dipindahkan oleh panitia pada tanah seluas 2,8 hektar tersebut adalah 1.800 makam. Untuk menghindari masalah hukum yang akan timbul dalam proses tersebut, kegiatan pemindahan makam dimulai dalam iklan pada surat kabar Bernas dan Sinar Harapan. Iklan tersebut ditayang sebanyak tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan. Isi iklan adalah pemberitahuan kegiatan pemindahan dan mengumumkan pada ahli waris yang menyerahkan proses pemindahan pada pihak UGM tidak akan dipungut biaya apa pun. Akan tetapi jika ada yang ingin mengurus sendiri tetap dipersilahkan asalkan tetap berkoordinasi dengan pihak UGM menyangkut administrasi pendataan. Setelah diiklankan, terdapat 400 ahli waris yang menghubungi pihak UGM. Sisanya sebanyak 1.400 makam tetap diurus oleh pihak UGM.

Kegiatan pemidahan makam dilakukan dengan memberikan nomor pada makam asal dan mengatur makam-makam tersebut sesuai dengan kapling pada makam tujuan. Kegiatan ini membutuhkan pendataan yang cermat dan teliti agar tidak terjadi kesalahan pemindahan ataupun salah identifikasi makam. Untuk mengantisipasi, peti mati diberi nomor berikut tutupnya dan juga kapling makam tujuan. Ukuran kapling makam di Piyungan mengikuti ketentuan Departemen Dalam Negeri RI (Depdagri) namun untuk kedalaman disesuaikan karena lahan di Piyungan berupa tanah gamping yang keras sehingga sulit untuk digali. Sedangkan ukuran peti mati (peti mati dibuatkan oleh UGM dengan bahan baku kayu jati yang didatangkan dari Wonosari) lebih pendek dari ukuran peti mati pada umumnya.

Terdapat 14 tim (satu tim terdiri dari enam orang) yang bertugas menggali makam dan mengambil jenazah. Kegiatan penggalian dan pengambilan jenazah dilakukan oleh tim yang berbeda. Tim tersebut berasal dari para group pemakaman yang sebagian besar berdomisili di Sagan. Sempat terjadi negosiasi tarif yang alot antara pihak UGM dan pekerja penggalian. Sebagai tindakan pencegahan sempat dipertimbangkan untuk menggunakan tenaga kerja dari Bantul yang sebelumnya pernah memindahkan makam Jawa. Akan tetapi pada akhirnya tenaga “lokal” tetap digunakan.

Mengingat adanya kemungkinan makam yang masih ‘basah’ (jenazah masih berdaging) dan kemungkinan kontaminasi penyakit, sempat dipertimbangkan untuk mempergunakan jasa Pasukan Katak yang biasa bertugas sebagai pasukan penyelamat. Namun usul tersebut tidak jadi dilakukan untuk menghindari stigma negatif dari masyarakat mengenai Pasukan Katak.

Seluruh pengerjaan pemindahan makam dilakukan secara manual. Sempat terlontar ide untuk dilakukan menggunakan backhoe, akan tetapi mengingat kemungkinan banyaknya masalah dalam proses administrasi pencatatan jenazah ide tersebut urung dilaksanakan.

Proses pengangkutan jenazah ke Piyungan menggunakan truk dengan dua tingkat dan kapasitas angkut sekali jalan sebanyak 25 peti. Dengan kapasitas tersebut. proses pemindahan memakan waktu sekitar dua bulan.

Walaupun persoalan lokasi pemindahan makam terselesaikan, persoalan dana tetap menjadi ganjalan karena pemindahan satu makam diperkirakan membutuhkan biaya lima juta rupiah. Pada Mei 1997 Prof. Sukanto menyelenggarakan upacara peletakan batu pertama pembangunan Masjid Kampus secara formalitas dan simbolis. Posisi batu pertama tersebut sekarang terletak di sebelah Utara bangunan masjid. Upacara tersebut dihadiri oleh sivitas akademika dan beberapa undangan termasuk Probosutedjo yang dalam kesempatan itu memberikan sumbangan sebesar Rp 200 juta. Dengan uang ini pemindahan makam dapat terselesaikan dan sisanya sebesar Rp 60 juta dipergunakan dana awal pembangunan masjid.

.Di akhir pemindahan, ditemukan dua buah makam yang berada di bawah pohon kamboja di luar pagar kompleks makam. Dari hasil penelusuran Informasi, diperoleh keterangan bahwa makam tersebut merupakan makam Kiai Mbulak dan Nyai Sumur, dua tokoh yang oleh masyarakat sekitar dianggap sebagai leluhur lokasi Bulaksumur saat ini. Ketika mencari inforamsi lebih jauh lagi tidak ditemukan siapa ahli waris dari kedua makam tersebut. Setelah dilakukan penggalian ternyata tidak diketemukan kerangka atau apapun di dalam makam jawa. Akhirnya tanah yang ada di tempat tersebut dimasukan ke dalam peti dan dipindah ke makam Kuncen. Pohon Kamboja yang menaungi kedua makam Jawa tersebut sempat ditawar untuk dijual dengan harga penawaran sebesar tiga juta rupiah . Konon menurut si calon pembeli, pohon kamboja tersebut akan di jadikan semacam jimat.

Penawaran tersebut ditolak pihak panitia masjid dan hingga kini pohon kamboja yang sama masih menaungi lahan parkir Masjid Kampus UGM.

 

Ketiadaan Gambar Kerja

Proses pembangunan Masjid Kampus, tidak menggunakan gambar kerja. Desain Masjid Kampus lahir dari diskusi-diskusi di lapangan dan seringkali gambar kerja dituangkan hanya dalam bentuk goresan-goresan di tanah. Namun demikian, walaupun desain Masjid Kampus berubah, struktur bangunan tidak mengalami perubahan.

Masjid Kampus pertama kali digunakan untuk shalat Jum’at, hal ini dilakukan sebagai bentuk sosialisasi sekaligus menjaring dana pembangunan. Karena pada waktu itu, pembangunan Masjid Kampus baru menyelesaikan lantai pertama saja.

 

“Masjid Kampus UGM”: Sebuah Nama

Proses pemberian nama Masjid Kampus UGM memiiiki kisah tersendiri. Awalnya, pemberian nama Masjid Kampus UGM akan dilakukan dengan cara mengumpulkan referensi, menyaringnya, dan kemudian memilih mana yang paling baik dan mengandung makna yang baik pula. Pada prakteknya. sebab kali ada yang mengusulkan nama seringkali diiringi dengan kontroversi. Banyak yang mancurigai adanya motif bahwa pihak-pihak tertentu sengaja ‘menitipkan’ atau “memesan” nama untuk masjid kampus.

Sempat pula terlintas akan dinamai sebagai Masjid Al-lkhlas. Akan tetapi ketika disampaikan pada Rektor UGM yang kala itu dijabat oleh Bapak Ichlasul Amal, beliau tidak menyetujui karena ada kemungkinan muncul stigma bahwa penamaan dipengaruhi oieh dirinya. Akhirnya. Pak Rektor mengajukan usulan agar penamaan masjid kampus cukup dengan Masjid Kampus UGM. Ini didasari pada pengamatan bahwa di Timur Tengah, masjid biasanya tidak memiliki nama seperti di Indonesia, tetapi penamaan masjid merujuk pada lokasi tersebut.

 

(Sumber: Buku “Masjid Kampus UGM” terbitan Masjid Kampus UGM Yogyakarta, 2010)

 

Selayang Pandang  |   Manajemen Masjid