Korupsi di Indonesia semakin marak, dan kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi semakin menurun. Apakah KPK masih efektif dalam memerangi korupsi di Indonesia saat ini? Tim volunteer analis data Ramadhan Public Lecture 1444 H Masjid Kampus UGM mendapati beberapa temuan seperti dirilis pada posnya, Senin (27/3) lalu.
Dalam temuan mereka, terdapat perubahan pada revisi Undang-Undang KPK yang dianggap melemahkan KPK. Secara sekilas di antaranya yaitu:
- Kewenangan pimpinan KPK sebagai penanggung jawab tertinggi, penyidik, dan penuntut umum dihapus dan digantikan oleh dewan pengawas.
- Wewenang dewan pengawas masuk dalam keseharian teknis penanganan perkara. Hal ini dinilai mendominasi dan menjadi alat intervensi KPK.
- Status kepegawaian harus aparatur sipil negara (ASN), sehingga dinilai mengganggu independensi pegawai KPK dan mendegradasi lembaga independen menjadi lembaga di bawah pemerintah.
- Pasal pemeriksaan tersangka tidak merujuk pada ketentuan UU KPK lagi, melainkan ketentuan yang ada pada kitab hukum acara pidana, sehingga dianggap berdampak hukum acaranya sama dengan tindak pidana biasa.
- Kewenangan menggeledah, menyita, hingga menyadap harus melalui izin dewan pengawas, dan jangka waktu penyadapan dibatasi hanya selama 1×6 bulan dan dapat diperpanjang 1×6 bulan.
- Penyelidik KPK dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK. Namun penyelidik harus lulus pendidikan di tingkat penyelidikan yang berada di bawah naungan kepolisian.
Sejak revisi UU KPK disahkan pada 2019, jumlah penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi mengalami penurunan tren. Pada tahun 2016-2018 sebelum revisi UU diberlakukan, KPK secara total melakukan 383 penyelidikan dan 419 penyidikan. Namun, pada tahun 2020 hingga 2022, jumlah total penyelidikan dan penyidikan berkurang menjadi 343 dan 319.
Menurunnya jumlah penyelidikan dan penyidikan berbanding lurus terhadap jumlah tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, jumlah tindak pidana gratifikasi/penyuapan pada tahun 2020-2022 yaitu sebanyak 220 kasus, mengalami penurunan dari tahun sebelum penerapan revisi UU KPK (2016-2018) yaitu sebanyak 341 kasus. Dalam kondisi ideal, seharusnya jumlah penyelidikan dan penyidikan berbanding terbalik dengan jumlah tindak pidana korupsi.
Selain anggapan pelemahan KPK, terdapat juga pelimpahan wewenang KPK berupa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Seperti pada pasal 11, KPK tidak lagi bisa menangani kasus pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara di bawah Rp1 miliar karena kasus tersebut dilimpahkan kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.
Hal tersebut dinilai membuat publik semakin putus asa terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian paling rendah dalam pemberantasan korupsi. Kepolisian juga merupakan institusi yang paling banyak dilaporkan di Ombudsman RI pada tahun 2020, dan paling banyak ketiga di tahun 2021. Adapun kejaksaan masih mendapat persepsi negatif dari masyarakat akibat puluhan jaksa yang tersandung kasus korupsi belakangan ini. (Tim volunteer analis data RPL 1444 H/Sumber: https://www.instagram.com/p/CqRRv5dS0uN/)
Baca juga: Abraham Samad: Siapa Pun Bisa Dihukum, meskipun Anggota KPK