
Dr. Ridwan Saptoto, S.Si., M.A., Psikolog. mengisi Kajian Kamis Sore di Masjid Kampus UGM. Dengan nada tenang namun tegas, ia mengangkat topik yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari, yaitu “Menuhankan Uang: Hilangnya Marwah Manusia Akibat Materialisme.”
Dalam paparannya, Ridwan mengingatkan bahwa zaman modern menghadirkan bentuk “kesyirikan” baru. Jika dulu manusia menyembah berhala, kini banyak yang justru “menyembah” uang. Fenomena itu, katanya, terlihat jelas di berbagai kasus: mulai dari korupsi kuota haji hingga gaya hidup yang mengukur harga diri dari kendaraan yang dikendarai.
“Bahkan ibadah pun bisa dijadikan jalan untuk korupsi,” ujarnya, menyinggung kasus penyalahgunaan dana haji yang sempat mencuat di Indonesia.
Sebagai psikolog, Ridwan menyoroti bagaimana masyarakat sering menganggap uang sebagai solusi semua masalah, padahal materi sejatinya rapuh dan mudah hilang. Ia menuturkan sebuah kisah tentang seorang jenderal Tiongkok yang begitu terikat pada koleksi cangkir antiknya, hingga menyadari betapa benda mati itu mampu membuatnya lebih takut daripada menghadapi ribuan musuh di medan perang.
Lebih jauh, Ridwan mengaitkan fenomena materialisme dengan konsep psikologi anchor theory maksudnya bahwa manusia selalu mencari sandaran dalam menghadapi risiko dan ketidakpastian hidup. Sayangnya, banyak orang menjadikan materi sebagai jangkar utama, padahal ia rentan goyah. “Sandaran yang paling kokoh adalah nilai spiritual yang terhubung dengan Allah,” tegasnya.
Dalam sesi tanya jawab, peserta juga menyinggung fenomena suap yang merajalela. Ridwan menanggapi dengan menekankan bahwa masalah korupsi bukan sekadar soal gaji kecil atau besar, melainkan soal keserakahan yang tak mengenal batas. “Dalam psikologi ekonomi, kepuasan manusia tidak pernah terbatas. Maka solusinya bukan sekadar menaikkan penghasilan, melainkan kesadaran diri untuk berkata: enough is enough,” jelasnya.
Kajian yang digelar pada 25 September 2025 di Masjid Kampus UGM itu ditutup dengan ajakan untuk kembali pada konsep insan kamil yaitu manusia paripurna yang menjaga keseimbangan antara usaha maksimal dan kepasrahan penuh kepada Allah. Dengan begitu, marwah manusia tidak terjerat oleh jebakan materialisme, melainkan kembali tegak dalam kemuliaan akhlak dan kebermanfaatan bagi sesama.