Ekonom senior Faisal Basri, S.E., M.A. dan aktivis Farid Gaban menjadi pemateri pada Masjid Kampus UGM Public Lecture (MPL) edisi November 2023. MPL kali ini bertajuk “Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup: Dilema Indonesia Menuju Negara Maju” ini diikuti ratusan partisipan selama sekitar dua setengah jam.
Faisal Basri mengawali pemaparan dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, seperti Al-Baqarah ayat 11-12, Ar-Ruum: 41, dan Al-A’raf: 56. Dengan mengutip ayat-ayat tersebut, Faisal ingin menunjukkan bahwa manusia adalah penyumbang kerusakan Bumi yang paling jelas.
“Dan yang berbuat kerusakan di muka Bumi ini, ya, siapa lagi kalau bukan manusia? Jadi jelas, kok, bahwa karena ulah manusia lah keseimbangan (kehidupan Bumi) itu rusak,” katanya.
Faisal juga menyebut bahwa dampak kerusakan tersebut sudah mulai kita rasakan belakangan ini. Keputusan pemerintah untuk menjadikan pembangunan ekonomi sebagai panglima, dinilainya, justru membuat kondisi lingkungan di Indonesia semakin memburuk. Dia juga memaparkan data-data yang menunjukkan komitmen Indonesia akan kelestarian lingkungan yang masih belum sesuai harapan.
Oleh karena itu, dia menyebut perlunya paradigma baru dalam pembangunan ekonomi yang tidak menggadaikan lingkungan. Faisal mengutip gagasan seorang profesor ekonomi asal Inggris, Mariana Mazzucato mengenai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dari gagasan yang disampaikan, dia mengatakan bahwa negara sebenarnya memiliki lebih dari cukup instrumen untuk menjaga alam,
“Negara sebenarnya punya lebih dari cukup instrumen, perangkat untuk menjaga alam ini, yang merupakan sumber kehidupan manusia,” lanjutnya.
Faisal juga menjelaskan tentang ekonomi hijau yang berkelanjutan, di mana keuntungan, keberlanjutan, dan kemakmuran manusia bisa saling bersinergi. Dia juga menunjukkan tren yang sedang berkembang di seluruh dunia, bahwa negara-negara maju yang memiliki kebijakan ramah lingkungan justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Dari data tersebut, Faisal meyakini bahwa kelestarian alam dengan pembangunan ekonomi bisa “seiring sejalan” untuk mewujudkan kesejahteraan dan menjadi negara maju.
Ekonomi, Lingkungan, dan Indonesia Emas 2045
Sementara itu, Farid Gaban mengawali bahasan dengan mimpi “Indonesia Emas 2045” yang marak disebut-sebut oleh pemerintah. Namun, ia menyebut motivasi di balik optimisme pada impian tersebut, yakni produk domestik bruto (PDB) yang semakin meningkat, bukanlah jaminan impian itu akan tercapai. Ia menyebut adanya ketimpangan dan kualitas manusia rendah yang dialami Indonesia dan berpotensi menghambat impian tersebut.
Farid juga menyoroti pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini, yang menurutnya cenderung semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi berbasis investasi dan utang. Dia menilai praktik pembangunan yang dilakukan oleh dua presiden terakhir, yakni SBY dan Joko Widodo, menyebabkan berbagai dampak negatif. Beberapa di antaranya ialah konflik agraria, kerusakan alam, hingga kerusakan hukum dan demokrasi.
Dari dampak-dampak tersebut, Farid menilai perlunya untuk melakukan perubahan paradigma tentang negara yang maju. Menurutnya, salah satu ukuran kemajuan bukan hanya hal-hal ekonomis, namun juga kebahagiaan. Melihat negara-negara Skandinavia, dia melihat beberapa faktor yang menentukan kebahagiaan masyarakat, seperti kelestarian alam serta pemerintahan yang baik.
“Menurut saya ini yang perlu kita ubah. Kita harus merenungkan kembali dan merumuskan kembali tentang tujuan Pembangunan, kemudian meredefinisi sebenarnya apa yang disebut maju itu?” katanya.
Senada dengan Faisal, Farid sepakat bahwa tidak ada dilema antara kelestarian alam dengan pembangunan ekonomi selama tidak terlalu berobsesi pada pertumbuhan ekonomi. Dia menyorot keragaman hayati Indonesia yang bisa dimanfaatkan secara ekonomi tanpa merusak alam. Farid melihat pentingnya ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge-based economy) dan “ekonomi biru” yang ramah Bumi untuk menumbuhkan ekonomi tanpa harus berutang dan bergantung pada negara asing.
“Kita harus membongkar mitos ya. Bisakah kita membangun ekonomi tanpa merusak alam, seolah-olah ada dilema. (Padahal) menurut saya tidak ada dilema, bila kita mengubah orientasi,” katanya. (Rama SP)