“Membangun Indonesia itu ibarat makan bubur panas. Harus dimulai dari pinggir-pinggir sampai nanti habis di tengah. Karena kalau langsung ke tengah, nanti lidahnya bisa melepuh karena kepanasan.”
Analogi unik tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P., Penasihat Khusus Presiden RI Bidang Haji, saat menjadi narasumber utama dalam Webinar Serial Integrasi Ilmu-Agama yang diselenggarakan oleh Masjid Kampus UGM, Rabu (3/12/2025). Dalam sesi bertajuk “Pendidikan Inklusif dan Pembangunan Manusia di Daerah 3T”, Mantan Menko PMK ini menegaskan pentingnya mengubah paradigma pembangunan dari Jawa-sentris menjadi Indonesia-sentris.
Siklus Pembangunan Manusia: Intervensi Sejak Remaja
Dalam paparannya, Prof. Muhadjir menjelaskan desain besar “Siklus Pembangunan Manusia Indonesia” yang menggunakan pendekatan siklikal (Human Life Cycle). Ia menekankan bahwa intervensi stunting dan kualitas SDM tidak bisa hanya dilakukan saat anak sudah lahir, melainkan harus ditarik jauh ke belakang, bahkan sejak calon ibu masih remaja.
“Usia remaja itu sudah menentukan subur tidaknya sebuah rahim. Kita lakukan operasi besar-besaran agar remaja putri rutin meminum pil tambah darah, terutama saat masa haid,” ungkap Prof. Muhadjir.
Prof. Muhadjir menambahkan peringatan keras mengenai dampak anemia berkepanjangan pada remaja putri. “Jika terjadi anemia kronis, kesehatan rahim terganggu. Kalau rahim tidak sehat, peluang melahirkan anak stunting sangat tinggi. Jadi, intervensi stunting saat anak sudah besar itu terlambat, yang paling menentukan adalah saat prenatal (dalam kandungan),” tegasnya.
Realitas Pahit Digitalisasi dan Kemiskinan Spasial
Membahas tantangan di daerah 3T, Prof. Muhadjir menyoroti kendala krusial terkait akses informasi yang menjadi penentu laju pembangunan. “Presiden memang menghendaki agar percepatan digitalisasi di wilayah 3T segera terjadi,” ujarnya.
Namun, upaya ini kerap berbenturan dengan realitas teknis. “Saya pernah uji coba waktu jadi Mendikbud. Google Chrome, misalnya, jika dipaksakan di wilayah 3T itu tidak jalan. Kenapa? Karena Chrome butuh internet yang stabil. Ini kendala berat yang nyata,” jelasnya.
Selain masalah infrastruktur, masyarakat 3T juga terjebak dalam apa yang disebutnya sebagai “Kemiskinan Spasial”. Kemiskinan ini terjadi bukan karena budaya malas, melainkan karena lokasi tempat tinggal yang mengisolasi mereka dari akses ekonomi dan menghambat mobilitas sosial.
Inklusi: Menghapus Sekat Sosial dan Fisik
Untuk menjawab berbagai ketimpangan di daerah 3T tersebut, Prof. Muhadjir menegaskan pentingnya “Pendidikan Inklusif” sebagai sebuah pilihan kebijakan yang sadar. Inklusi bukan sekadar jargon, melainkan upaya konkret melebur sekat-sekat perbedaan.
“Kita memang memilih kebijakan-kebijakan yang lebih inklusif. Misalnya tidak ada pemisahan dalam pendidikan antara yang miskin dan yang kaya,” tegasnya. Prof. Muhadjir menjelaskan bahwa dalam kelas yang inklusif, si kaya dilatih untuk memiliki empati, sementara si miskin terbantu untuk mengejar ketertinggalan fasilitas belajarnya melalui kolaborasi.
Lebih jauh, inklusi juga menyasar penyandang disabilitas. “Inklusi di bidang pendidikan itu termasuk tidak memisahkan antara yang normal dengan yang difabel. Anak-anak berkebutuhan khusus tetap belajar bersama-sama dengan yang normal,” paparnya. Meskipun tetap didampingi oleh guru pengampu khusus, keberadaan mereka di ruang yang sama menghapus eksklusivitas. Prinsip ini juga berlaku untuk menghapus kasta sosial, di mana tidak boleh ada pembedaan antara status sosial tinggi dan rendah dalam akses pendidikan.
Sistem Zonasi: Mengamalkan Semangat Al-Ma’un
Sebagai manifestasi nyata dari kebijakan inklusi tersebut, Prof. Muhadjir menyinggung kebijakan kontroversial yang pernah ia gagas: Sistem Zonasi Pendidikan. Ia menceritakan resistensi dari kalangan elit yang merasa tidak nyaman.
“Banyak yang protes, ‘Masa anak dosen UGM harus sekolah bareng anaknya tukang becak?’. Saya dikomplain habis-habisan,” kenangnya .
Namun, bagi Prof. Muhadjir, kebijakan ini adalah pengamalan nilai religius dan keadilan sosial. “Sebagai seorang Muslim yang memegang prinsip Surah Al-Ma’un, kita tidak boleh mengucilkan mereka yang miskin. Inklusi berarti sekolah tidak boleh lagi eksklusif hanya untuk orang berduit atau pejabat,” pungkasnya. (Isa Maliki)