Pada Mimbar Subuh yang diselenggarakan di Masjid Kampus UGM pada Sabtu (16/3), Guru Besar FMIPA UGM, Prof. Dr. Chairil Anwar menyampaikan bahwa bulan Ramadan memiliki banyak keistimewaan di dalamnya. Salah satu di antaranya adalah diturunkannya Alquran. Lebih lanjut, Prof. Anwar mengutip surah Al-Baqarah ayat 185 yang menjelaskan bahwa pada bulan suci Ramadan Allah ta’ala menurunkan Alquranul Karim.
Kepala Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI, Ir. Yuris Tiyanto, M.M. mengajak jama’ah untuk berefleksi kembali kepada Alquran untuk mengatasi masalah darurat pangan di Indonesia. Salah satu refleksi yang dianjurkan oleh beliau adalah dengan menerapkan konsep Nabi Yusuf dengan sistem pertanian 7 tahun kering dan 7 tahun basah. Berkaca dari konsep tersebut, Yuris menilai perlunya masyarakat mempelajari teknologi produksi dan teknologi benih.
Wakil Rektor UGM Bidang Perencanaan, Aset, dan Sistem Informasi, Arief Setiawan Budi Nugroho, S.T., M.Eng., Ph.D. berbicara tentang makna kecintaan kepada Allah ta’ala dalam ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H di Masjid Kampus UGM, Kamis (14/03). Dalam ceramah berjudul “Cinta KepadaNya sebagai Manifestasi Taqwa” itu, Arief menegaskan bahwa cinta itu tidak bermain pada akal, namun cinta itu menggunakan hati.
Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kabupaten Sleman, Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D. menyampaikan ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H, Rabu (13/3) di Masjid Kampus UGM. Dalam ceramah bertajuk “Sinergitas Pajak dan Zakat Dalam Strategi Pembangunan Ekonomi Negara” itu, ia berbicara tentang sinergi antara zakat dan pajak, yang mana keduanya berbeda dalam dasar hukum, sifat kewajibannya dan jenis kadarnya.
Dewan Penasihat Takmir Masjid Jogokariyan Yogyakarta, Ustaz Muhammad Jazir ASP, dalam Mimbar Subuh yang diselenggarakan di Masjid Kampus UGM, Rabu (13/03) memaparkan kajian bertajuk “Optimalisasi Masjid Sebagai Poros Pembangunan Masyarakat Islam”. Dalam ceramah tersebut, Ustaz Jazir menjelaskan peran masjid kampus memprakarsai perubahan revolusioner yang terjadi hingga membentuk masyarakat Islam di Indonesia pada hari ini. Menurutnya, terdapat beberapa perubahan revolusioner yang terjadi secara garis besar.
Imam Besar Masjid Kampus UGM, Dr. Muhammad Nur, M.Ag menekankan perlunya memperluas kampus di luar ruang fisik untuk mengakomodasi tiga potensi dasar manusia: inderawi, rasional, dan hati nurani untuk mendukung terciptanya lingkungan kampus madani. Hal ini disampaikan beliau dalam ceramah tarawihnya Masjid Kampus UGM Public Lecture (MPL) Selasa (12/03) di Masjid Kampus UGM dengan tema “Mewujudkan Kampus Madani Melalui Internalisasi Nilai-Nilai Al-Qur’an”. Wacana ini menyoroti tantangan sosial yang dihadapi oleh kampus-kampus saat ini, termasuk kurangnya ruang untuk berdebat dan sikap apatis mahasiswa terhadap ajaran akademis pasca pemilu.
Direktur Utama PT Lintas Global Wisata, Dr. Hepi Andi Bastono, M.A., M.Pd.I., dalam ceramah subuh yang diselenggarakan di Masjid Kampus UGM, Selasa (12/03), menyoroti peran kewirausahaan sebagai pendorong utama kemajuan sebuah bangsa. Menurutnya, kunci untuk mencapai kemajuan peradaban adalah dengan memiliki antara empat hingga tujuh persen dari populasi sebagai pengusaha.
Ketua Takmir Masjid Kampus UGM, Dr. Rizal Mustansyir, M.Hum menyampaikan ceramah tarawih Ramadhan Public Lecture di Masjid Kampus UGM, Selasa (11/3). Dalam ceramahnya yang bertajuk “Pembangunan Islam Pasca-Positivisme”, Dr. Rizal yang juga merupakan Dosen Fakultas Filsafat UGM ini menjelaskan bahwa positivisme lahir dalam pergulatan antara agama dan ilmu pengetahuan saat itu.
Dai asal Yogyakarta, Ustaz Salim A. Fillah berbicara tentang buku sastra sejarah Jawa legendaris, Babad Tanah Jawi, pada ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H di Masjid Kampus UGM, Ahad (10/03). Ustaz Salim mencatat, aspek yang paling menarik dari sejarah penulisan Babad Tanah Jawi adalah penyebutan babad untuk suatu penulisan oleh orang Jawa pasca tradisi Islam. Orang Jawa pada masa itu menggunakan diksi babad untuk menggambarkan berdirinya suatu peradaban baru yakni peradaban Islam.
Ekonom senior Faisal Basri, S.E., M.A. dan aktivis Farid Gaban menjadi pemateri pada Masjid Kampus UGM Public Lecture (MPL) edisi November 2023. MPL kali ini bertajuk “Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup: Dilema Indonesia Menuju Negara Maju” ini diikuti ratusan partisipan selama sekitar dua setengah jam.
Faisal Basri mengawali pemaparan dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, seperti Al-Baqarah ayat 11-12, Ar-Ruum: 41, dan Al-A’raf: 56. Dengan mengutip ayat-ayat tersebut, Faisal ingin menunjukkan bahwa manusia adalah penyumbang kerusakan Bumi yang paling jelas.
“Dan yang berbuat kerusakan di muka Bumi ini, ya, siapa lagi kalau bukan manusia? Jadi jelas, kok, bahwa karena ulah manusia lah keseimbangan (kehidupan Bumi) itu rusak,” katanya.
Faisal juga menyebut bahwa dampak kerusakan tersebut sudah mulai kita rasakan belakangan ini. Keputusan pemerintah untuk menjadikan pembangunan ekonomi sebagai panglima, dinilainya, justru membuat kondisi lingkungan di Indonesia semakin memburuk. Dia juga memaparkan data-data yang menunjukkan komitmen Indonesia akan kelestarian lingkungan yang masih belum sesuai harapan.
Oleh karena itu, dia menyebut perlunya paradigma baru dalam pembangunan ekonomi yang tidak menggadaikan lingkungan. Faisal mengutip gagasan seorang profesor ekonomi asal Inggris, Mariana Mazzucato mengenai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dari gagasan yang disampaikan, dia mengatakan bahwa negara sebenarnya memiliki lebih dari cukup instrumen untuk menjaga alam,
“Negara sebenarnya punya lebih dari cukup instrumen, perangkat untuk menjaga alam ini, yang merupakan sumber kehidupan manusia,” lanjutnya.
Faisal juga menjelaskan tentang ekonomi hijau yang berkelanjutan, di mana keuntungan, keberlanjutan, dan kemakmuran manusia bisa saling bersinergi. Dia juga menunjukkan tren yang sedang berkembang di seluruh dunia, bahwa negara-negara maju yang memiliki kebijakan ramah lingkungan justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Dari data tersebut, Faisal meyakini bahwa kelestarian alam dengan pembangunan ekonomi bisa “seiring sejalan” untuk mewujudkan kesejahteraan dan menjadi negara maju.
Ekonomi, Lingkungan, dan Indonesia Emas 2045
Sementara itu, Farid Gaban mengawali bahasan dengan mimpi “Indonesia Emas 2045” yang marak disebut-sebut oleh pemerintah. Namun, ia menyebut motivasi di balik optimisme pada impian tersebut, yakni produk domestik bruto (PDB) yang semakin meningkat, bukanlah jaminan impian itu akan tercapai. Ia menyebut adanya ketimpangan dan kualitas manusia rendah yang dialami Indonesia dan berpotensi menghambat impian tersebut.
Farid juga menyoroti pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini, yang menurutnya cenderung semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi berbasis investasi dan utang. Dia menilai praktik pembangunan yang dilakukan oleh dua presiden terakhir, yakni SBY dan Joko Widodo, menyebabkan berbagai dampak negatif. Beberapa di antaranya ialah konflik agraria, kerusakan alam, hingga kerusakan hukum dan demokrasi.
Dari dampak-dampak tersebut, Farid menilai perlunya untuk melakukan perubahan paradigma tentang negara yang maju. Menurutnya, salah satu ukuran kemajuan bukan hanya hal-hal ekonomis, namun juga kebahagiaan. Melihat negara-negara Skandinavia, dia melihat beberapa faktor yang menentukan kebahagiaan masyarakat, seperti kelestarian alam serta pemerintahan yang baik.
“Menurut saya ini yang perlu kita ubah. Kita harus merenungkan kembali dan merumuskan kembali tentang tujuan Pembangunan, kemudian meredefinisi sebenarnya apa yang disebut maju itu?” katanya.
Senada dengan Faisal, Farid sepakat bahwa tidak ada dilema antara kelestarian alam dengan pembangunan ekonomi selama tidak terlalu berobsesi pada pertumbuhan ekonomi. Dia menyorot keragaman hayati Indonesia yang bisa dimanfaatkan secara ekonomi tanpa merusak alam. Farid melihat pentingnya ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge-based economy) dan “ekonomi biru” yang ramah Bumi untuk menumbuhkan ekonomi tanpa harus berutang dan bergantung pada negara asing.
“Kita harus membongkar mitos ya. Bisakah kita membangun ekonomi tanpa merusak alam, seolah-olah ada dilema. (Padahal) menurut saya tidak ada dilema, bila kita mengubah orientasi,” katanya. (Rama SP)