Pada Jumat (21/11), Aldy Pradhana, S.Si., M.Phil., dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Darussalam Gontor, menyampaikan khutbah dengan tema “Islam dan Agenda Pembebasan Manusia.” Dalam khutbahnya, Aldy menekankan bahwa perjuangan memerdekakan manusia belum selesai. Meskipun bangsa telah lama merdeka secara formal, umat Muslim masih menghadapi bentuk-bentuk penjajahan baru yang bekerja lebih halus di era modern.
Aldy membuka khutbah dengan menyinggung pemikiran Frantz Fanon, seorang intelektual penting anti-kolonial. Fanon menjelaskan bahwa bangsa-bangsa yang pernah terjajah sering mewarisi mentalitas inferior, yaitu rasa rendah diri yang membuat mereka memandang Barat sebagai standar peradaban, kemajuan, dan pengetahuan. Akibatnya, masyarakat bekas koloni cenderung mengalami trauma identitas, kehilangan percaya diri, dan menjalani kehidupan dalam bayang-bayang pihak yang pernah menjajah mereka. Kolonialisme formal boleh berakhir, tetapi jejaknya tetap hidup melalui modernisasi, pembangunan, dan sistem global yang memaksa negara-negara dunia ketiga bergantung secara politik, ekonomi, dan keilmuan.
Aldy menambahkan bahwa setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat tampil sebagai pusat dominasi global, memperluas pengaruhnya terhadap negara-negara yang dikelompokkan sebagai dunia ketiga. Dominasi ini tidak selalu diwujudkan melalui peperangan fisik, tetapi melalui agenda ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan, yang seringkali melemahkan kemampuan bangsa untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Dekan FUPI UIN Sunan Kalijaga: Rebut Kembali Kedaulatan Otak, Jangan Biarkan Teknologi Jadi Tuan!
Di tengah realitas kolonialisme eksternal, Aldy menyoroti bentuk penjajahan lain yang lebih dekat namun tak kalah berbahaya: penjajahan domestik. Penjajahan ini dijalankan oleh segelintir elite yang bermental serakah, rakus kekuasaan, dan sering menjadi perpanjangan tangan kepentingan asing. Kelompok-kelompok tersebut mengeksploitasi sumber daya negeri selama memberi keuntungan pribadi, sekalipun mengorbankan kesejahteraan publik dan masa depan bangsa. “Mentalitas inferior, pelanggengan kolonial, dan penjajahan domestik,” tegas Aldy, “adalah bukti bahwa agenda kemerdekaan belum selesai.”
Dalam khutbahnya, Aldy juga mengutip Amir Syakib Arsalan melalui karyanya Limadza Taakhkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum—mengapa umat Islam mundur sementara umat lain maju. Arsalan menunjukkan bahwa kemunduran umat Islam bukan semata akibat penjajahan eksternal, tetapi juga berasal dari kelalaian internal: umat meninggalkan ilmunya, meremehkan agamanya, dan kehilangan etos keunggulan. Karena itu, menurut Aldy, pembebasan harus dimulai dari pembebasan diri: terbebas dari lalai terhadap ilmu, iman, dan tanggung jawab sosial.
Untuk membangun kerangka pembebasan, Aldy menyampaikan empat ranah ilmu yang bersifat saling menopang:
- Kitab Kuning — akidah, syariat, dan akhlak
- Kitab Putih — ilmu pengetahuan dan sains
- Kitab Hijau — hubungan manusia dengan alam
- Kitab Merah — krisis dan gerakan yang muncul akibat pola pikir serakah dan kapitalistik
Aldy menegaskan bahwa Kitab Kuning menjadi dasar bagi seluruh ranah lainnya, sehingga praktik ibadah, ilmu, relasi ekologis, hingga aktivisme sosial berjalan dalam kerangka fardhu ‘ain dan fardhu kifayah sebagai bentuk keadilan.
Khutbah ini juga mengoreksi pemaknaan ibadah yang selama ini dipahami sempit. Ibadah bukan hanya ritual, seperti salat dan puasa. Jika dipahami secara mendalam, ajaran Islam memiliki kekuatan pembebasan: salat membebaskan manusia dari kemunkaran dan kehinaan moral; syahadat membebaskan manusia dari ketundukan selain Allah; Islam membebaskan manusia dalam relasinya dengan Tuhan, Nabi, agama, sesama, hingga alam semesta.
Menutup khutbah, Aldy menegaskan bahwa agenda pembebasan bukan sekadar kemampuan mengkritisi kezaliman. Agenda itu harus berbuah martabat kemanusiaan yang beradab, insan adabi. Pembebasan yang dimaksud tidak berhenti pada individu, tetapi bergerak kepada keluarga, masyarakat, hingga bangsa. Islam, tegasnya, bukan hanya tata cara ibadah personal, tetapi juga sumber kebudayaan dan peradaban yang relevan bagi manusia dan alam semesta.
Dengan khutbah yang bernas dan sistematis ini, Aldy Pradhanan mengingatkan jamaah bahwa memerdekakan diri, ilmu, dan masyarakat bukanlah romantika sejarah, melainkan amanah besar yang harus terus diperjuangkan. (Aulia Mahdini)