Masjid Kampus UGM kembali menggelar Sakinah Academy sebagai salah satu kajian rutin yang dilaksanakan setiap Senin sore di Ruang Utama Masjid Kampus UGM. Sakinah Academy (6/10/2025) kali ini mengusung tema “Strategi Mengelola Konflik dalam Keluarga agar Tidak Menjadi Trauma Anak” yang dibersamai oleh Zahra Frida Intani, S.Psi., M.Psi., Psikolog. sebagai pembicara. Tidak sendirian, beliau ditemani oleh suaminya, Rakhman Satrio Wicaksono, S.Psi. yang merupakan Co-Founder Hikma Internasional Boarding School.
Rakhman mengawali paparan kajian dengan menggali akar penyebab konflik. “Jadi penyebab perceraian itu kurang lebih dua, kalau enggak ekonomi, satunya lagi perselingkuhan,” jelasnya. Selanjutnya, beliau mendefinisikan konflik sebagai suatu bentuk ketidaksepakatan atau ketegangan yang terjadi dalam ramah ide. “Ada juga perbedaan pikiran, politik, ideologi, serta halangan,” tambahnya.
Melalui pengalamannya sebagai guru, Rakhman banyak belajar dari murid-murid yang merasakan konflik dengan keluarganya. “Kalau menurut saya akarnya ada satu, karena kita menikah dengan manusia yang berbeda,” jelasnya. Ia memaparkan bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda. Hal ini kadang tidak dipahami sehingga seringkali menuntut pasangan berdasarkan point of view kita. “Ini yang pertama perlu kita pahami dulu. Apa sih bedanya laki-laki dan perempuan? Kalau secara penampilan fisik pasti berbeda. Tapi kalau secara sifat, ini yang perlu kita pahami. Laki-laki memiliki kecenderungan spektrum autis yang lebih tinggi. Autisme itu terlalu fokus pada benda,” papar beliau.
Baca juga: Okrisal Eka Putra: Ini Empat Sunnah Nabi dalam Politik dan Kekuasaan
“Laki-laki punya tendensi dia sangat hyperfocus pada benda atau penelitian. Kalau perempuan biasanya sukanya lebih kepada ngobrol komunikasi interpersonal. Perempuan itu kalau ngobrol biasanya saling tatap mata temannya. Dia lebih empatik dan perasaan,” jelas Rakhman. Ia menyampaikan bahwa salah satu langkah awal untuk mengatasi konflik adalah memahami psikologis laki-laki dan perempuan. Selain itu, perbedaan antargenerasi dalam keluarga juga menjadi penyebab konflik yang perlu dipahami.
Pemaparan dilanjutkan oleh Zahra dengan menyoroti konflik yang bisa jadi penyebab trauma. “Nah, jadi teman-teman kenapa kok konflik itu bisa jadi sumber trauma, karena biasanya konfliknya itu berkepanjangan atau tidak selesai-selesai. Itulah nanti biasanya menjadi bibit-bibit penyebab trauma,” jelasnya. Ia menjelaskan bahwa situasi tersebut sangat mungkin membuat anak merasa tidak dicintai karena orang tua sibuk sendiri dengan masalahnya.
Melanjutkan paparan kajiannya, Zahra menjelaskan strategi penyelesaian serta resolusi konflik. “Yang pertama adalah bagaimana keluarga itu memandang konflik? Konflik itu adalah suatu keniscayaan. Konflik adalah sesuatu yang mungkin dari proses ini akan membuat dia menjadi lebih baik. Ini namanya adaptif,” tambahnya. Strategi berikutnya meliputi memahami konflik secara subjektif dan objektif, mendorong pemikiran positif, dan berfokus pada kerja sama daripada kontrol. Beliau menekankan pentingnya saling pengertian dan memahami dalam keluarga.
“All relationship have conflict even successful relationship,” kalimat tersebut menutup pemaparan Zahra. Ia menambahkan bahwa semua hubungan, baik hubungan pasangan maupun hubungan keluarga pasti terdapat permasalahan. Hubungan itu tidak akan gagal hanya karena permasalahan, tetapi salah satunya karena anggota keluarga itu tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan permasalahan tersebut. (Miftahul Khairati)