
Feri Amsari dalam acara Masjid Kampus UGM Public Lecture yang diselenggarakan pada Sabtu (27/9) menyatakan bahwa persoalan inti yang terjadi di Pati bukan sekedar kenaikan pajak, melainkan juga arogansi Bupati yang kian menjauhkan solusi. Oleh karena itu, perlu reformasi tata perilaku politisi dan wacana Californian demokrasi yaitu konsep recall by the people sebagai tawaran jangka panjang bagi rakyat.
Akar Permasalahan: Pajak Naik, Bupati Arogan
Feri Amsari membuka pemaparannya dengan menyoroti permasalahan yang terjadi di Pati sebenarnya hanya sebagian dari problematika tata kelola negara Indonesia. Jika masyarakat jauh lebih jeli, banyak kebijakan yang seharusnya menimbulkan kemarahan dan kekecewaan publik dalam pemerintahan hari ini dan sepuluh tahun yang lalu. Akan tetapi, mengingat khas rakyat Indonesia baru bereaksi pada suatu kebijakan ketika kebijakan tersebut benar-benar berdampak langsung dengan kehidupan mereka.
Kejadian di Pati merupakan salah satu contohnya, ketika ada kenaikkan pajak dan berdampak langsung ke rakyat maka langsung menimbulkan kemarahan. Padahal, jika disoroti lebih detail banyak kebijakan-kebijakan lainnya yang sangat luar biasa berdampak pada ekonomi dan pendidikan di Indonesia.
Lebih lanjut, Feri menyarankan bahwa problematika Pati jangan dibawa terlalu meluas, fokus kepada hal yang masih dipermasalahkan publik yaitu permasalahan kenaikan pajak dan sikap arogansi dari Bupati.
Baca juga: Ketimpangan Ekonomi dan Beban Pajak Rakyat, Media Askar Ingatkan Bahaya Sosial-Politik
“Kalo kita cermati mau 12 tuntutan coba dibahas satu per satu, saya yakin ini hanya bicara soal meredam ketegangan publik saja bukan menyelesaikan pokok persoalan”, ujarnya.
Ketentuan Pasal 67 dan 76 Undang-Undang dijadikan referensi oleh Feri untuk melihat jika tindakan Bupati dari awal sudah bermasalah, baik melanggar kewajiban maupun larangan yang sebenarnya tidak boleh dilakukan kepala daerah. Bupati Pati sudah membuat kebijakan yang menimbulkan keresahan masyarakat dan melakukan perbuatan tercela.
Menurut beliau, dibanding harus berkelut membahas 12 permintaan publik dan ingin dibuktikan satu per satu, sementara yang terlihat nyata sudah bisa dihukum. Problematikanya akan sangat panjang jika melihat apa yang sedang dikerjakan oleh DPRD Pati.
Feri berpendapat bahwa hal yang adil adalah ketika kita melihat situasi Bupati berhadapan dengan rakyat secara arogan. Sikap arogan yang tidak patut dan menjadi pemicu keributan. Sikap inilah yang harusnya diberikan hukuman. Jika malah fokus pada 12 tuntutan yang ingin diurai satu per satu oleh DPRD Pati, itu akan terus berlanjut dan menjadi persoalan yang panjang sekali yang menurut beliau harusnya politisi lebih bijak dalam melihat situasi dan keadaan.
Reformasi Tata Perilaku Politisi
Kesadaran di Pati membangun kesadaran orang-orang lain bahwa jika publik peduli dengan berbagai kebijakan negara maka sebenarnya publik punya bargaining yang baik untuk memastikan agar segala kebijakan berdasarkan kepentingan publik. Mahkamah Konstitusi sudah memberikan saran bagi pembuat kebijakan dan Undang-Undang bahwa segala kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mau dibuat mestinya melibatkan partisipasi publik yang bermakna, yaitu menampung nilai-nilai keterwakilan dan aspirasi publik.
Rakyat Indonesia mempunyai cara yang indah dalam berdemokrasi dan menyalurkan aspirasi. Namun, mirisnya tidak ada perubahan sikap dari para politisi setelah mendengarkan aspirasi rakyat. Contohnya keributan yang terjadi di Pati, setelah adanya kejadian tersebut tidak ada perubahan sikap di DPRD, pembuatan kebijakan, kepala daerah, sebaliknya yang terjadi yaitu politisi sibuk membela dirinya. Inilah tabiat asli politisi di Indonesia.
Californian Demokrasi: Recall by the People
Masih menjadi persoalan bagaimana rakyat bisa membuat para politisi benar-benar menjalankan kehendak rakyat. Pada pemaparan ini, Feri memberikan salah satu gagasan dari pusat konstitusi yaitu memastikan adanya “recall by the people”. Rincinya rakyat berhak melakukan recall ke anggota DPR atau DPRD yang tidak menjalankan kehendak publik. Jika tidak seperti itu, maka yang terjadi politisi akan lebih takut ke ketua partai dibanding rakyat itu sendiri.
Terakhir, Feri menekankan dengan recall by the people dapat menjaga agar relasi publik dan orang yang mereka pilih bisa terus terjadi. Harus ada mekanisme yang demokratis dan sederhana tanpa harus membuang tenaga publik yang kemudian orang bisa melakukan recall ke pembuat kebijakan. Hal ini bisa sebagai target jangka panjang yang perlu dipikir baik-baik. (Safitri Ingka / Editor: Indra Oktafian Hidayat)
