
Webinar Integrasi Ilmu dan Agama yang dilaksanakan pada Rabu (3/9), menghadirkan Prof. Dr. Sangidu, M.Hum., Guru Besar Bidang Sastra Arab Modern FIB UGM. Dalam kesempatan itu, Sangidu mengulas tema “Budaya Profetik dalam Lanskap Urban: Menemukan Nilai-Nilai Kenabian di Tengah Pergeseran Tradisi”.
Sangidu mengawali dengan penjelasan mengenai proses penciptaan manusia dan alam semesta, dan dalam proses kehidupannya, manusia mengalami perjalanan luar biasa dan penuh dosa. Oleh karena itu, agar dapat kembali pada Allah Swt. dengan keadaan yang suci, maka manusia perlu melakukan Tazkiyatun Nafs. Salah satu metode Tazkiyatun Nafs untuk membersihkan diri, yakni melalui “Tarekat”.
Pasca Revolusi Mesir sebagai dampak atas fenomena Arab Spring pada 2011, kehidupan sufisme tarekat dalam melakukan dzikir sebagai cara mendekatkan diri pada Allah ini mengalami dinamika perkembangan yang signifikan. Sebelumnya, praktik tarekat selalu berada di Masjid dan dilakukan secara khusyu’. Namun, setelahnya anggota tarekat di Mesir menciptakan formulasi baru hingga tarekat mengalami transformasi dalam melantunkan dzikir (teknik mendekatkan diri pada Allah).
Tarekat Era Digitalisasi dan Globalisasi, Beriringan dengan Urban Sufisme
Sangidu membagikan dua video sebagai bentuk komparasi praktik tarekat sebelum dan sesudah masa Revolusi Mesir. Berangkat dari video tersebut, nampak “Tarekat Syadziliyah” sebagai bentuk inovasi praktik tarekat ditengah globalisasi yang muncul di Kota Alexandria (tepi barat Delta Sungai Nil) dengan dikemas dalam bentuk penampilan guna mengentertain anak-anak muda, harapannya anak-anak muda berminat bergabung dalam tarekat dengan cara ini.
Ia menggiring diskusi pada pertanyaan pemantik “apakah aspek profetik dari diri masing-masing pengikut tarekat akan lebih dekat kepada Allah atau justru sebaliknya?”. Menurutnya, hal ini masih memerlukan observasi lebih lanjut dengan anggota-anggota tarekat terkait.
Namun, sejauh analisis yang ada, aspek profetik ini masih ada dan terintegrasi dalam narasi dzikir yang dinyanyikan, seperti “Ibtihal” sebagai bentuk permohonan kepada Allah. Tetapi, Tarekat dalam bentuk penampilan yang dinyanyikan ini juga dipertanyakan aspek profetiknya sebab bersinggungan dengan alat, perangkat, dan media. Apakah aspek profetiknya menurun? Dimungkinkan, akan berbeda dengan metode sebelumnya, yang lebih intens mendekatkan diri pada Allah, sebab berada di Masjid.
Meski begitu, Sangidu menegaskan bahwa dengan metode demikian, tarekat lebih diminati. Tidak hanya dilakukan oleh orang-orang lanjut usia di Masjid, tetapi juga dipraktikkan anak muda, hingga pengikut tarekat meningkat. Dalam sesi diskusi, seorang peserta merefleksikan terkait perspektif negatif terhadap sufisme dan tarekat yang jauh dari kehidupan duniawi, anti sosial, dan meninggalkan keluarga. Ia bertanya mengenai bagaimana keragaman dalam sufisme dan apakah perspektif negatif yang nyata itu merupakan ketidakmampuan penganutnya dalam mengatasi dunia?
Urban sufisme menunjukkan bahwa sufisme tidak demikian, mereka memiliki kekayaan, tetapi tidak menghilangkan kecintaannya terhadap Allah. Mursyid di Kairo banyak yang menjadi representasi keseimbangan dunia dan akhirat, untuk menuju akhirat tentu melalui dunia. Ahli Sufi modern banyak yang membiayai dirinya dan anggotanya dengan prinsip “semua pemberian ini dari Allah, maka dikembalikan melalui berbagi”.
Namun, ada kasus dari sebagian kecil yang merasa kesulitan hidup di dunia, maka mereka memilih jalan tarekat untuk lebih damai dan tenang, hal ini bermakna sebagai pelarian manusia. Ini berbeda dengan mereka-mereka yang sudah sampai pada tahap ma’rifat yang memang sudah meninggalkan semua keduniawian.
Sebabnya, penafsiran terhadap sufi bersifat tentatif bergantung pada dimana kita menemuinya, dan tentu seiring perkembangan zaman, era globalisasi dan digital turut memengaruhi dinamika Sufisme.
Menutup paparannya, Sangidu berpesan, mengutip dari Sabda Rasulullah “Umur umatku antara 60 hingga 70 dan sedikit dari mereka yang melebihi itu” (H.R. Tirmidzi, no.3550)
“Sebaiknya kita beramal soleh kepada siapapun, utamanya bagi yang telah di umur-umur kritis, dan salah satu jalan untuk mendekatkan diri pada Allah ialah dengan berdzikir agar meninggal dalam keadaan suci dan fitrah,” tegasnya. (Verdelista Frisca Purnama / Editor: Indra Oktafian Hidayat / Foto: YouTube Masjid Kampus UGM)
