
Webinar Integrasi Ilmu dan Agama (WIIA) kembali menghadirkan sebuah diskusi profetik dengan seri Studi Perdamaian dan Keamanan. WIIA kali ini mengangkat tema “Resolusi Konflik: Etika Profetik dalam Merespons Kekerasan, Intoleransi, dan Polarisasi Sosial.” Kegiatan ini diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting pada 6 Agustus 2025, dengan menghadirkan Guru Besar Bidang Geopolitik Timur Tengah FISIPOL UGM, Prof. Dr. Siti Mutiah Setiawati, M.A.
Webinar dibuka dengan paparan mengenai hakikat konflik sebagai bagian tak terelakkan dari kehidupan manusia, yakni pergesekan, ketidaksesuaian, hingga benturan fisik yang berpotensi berdampak luas. Dalam membedah konsep perdamaian, Prof. Mutiah menekankan pentingnya membedakan antara perdamaian negatif yang hanya bermakna tidak adanya perang namun masih menyimpan ketidakadilan dan perdamaian positif, sebuah kondisi ideal di mana keadilan, kesetaraan, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dapat terpenuhi.
Untuk menganalisis konflik secara komprehensif, diperkenalkan pula segitiga konflik yang terdiri dari tiga unsur utama, yaitu sikap (attitude), perilaku (behavior), dan situasi (context). Ketiganya saling terkait dan menjadi dasar dalam memahami dinamika konflik serta strategi penyelesaiannya.
Dalam menjelaskan pendekatan teori resolusi konflik, Prof. Mutiah mengulas dua paradigma dominan dari dunia Barat. Pertama, teori realisme, yang berpijak pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya egois dan haus kekuasaan (homo homini lupus), sehingga konflik dianggap sebagai keniscayaan yang hanya bisa diatasi dengan kekuatan militer. Kedua, teori liberalisme, yang justru menempatkan manusia sebagai makhluk kooperatif dan percaya bahwa perdamaian dapat diwujudkan melalui demokrasi, penghormatan hak asasi manusia, dan kerja sama internasional.
Namun, sebagai penyeimbang dari dua pandangan tersebut, Prof. Mutiah mengangkat paradigma islam sebagai tawaran resolusi konflik yang lebih menyeluruh dan bersifat profetik. Islam mengakui bahwa konflik adalah fitrah, namun juga menggariskan solusi yang konkret melalui konsep islah, yaitu usaha perbaikan, pemulihan, dan rekonsiliasi sosial yang berakar pada nilai-nilai keadilan dan kasih sayang.
Konsep islah ini tidak sekadar normatif, melainkan menjadi kewajiban yang ditegaskan dalam Al-Qur’an, khususnya dalam Surat Al-Hujurat ayat 9, yang menyerukan agar umat islam aktif dalam mendamaikan pihak yang bertikai, memerangi kedzaliman, dan menegakkan keadilan. Dengan demikian, Islam bukan hanya menginginkan ketiadaan konflik, tetapi juga transformasi sosial menuju kondisi yang adil dan sejahtera.
Sebagai penutup, Prof. Mutiah menyimpulkan bahwa resolusi konflik berbasis etika profetik dalam Islam mampu melampaui batas-batas pendekatan teoritis Barat. Jika realisme cenderung pesimistis dan liberalisme bersandar pada mekanisme institusional, maka islah hadir sebagai perintah ilahiah yang memadukan spiritualitas, moralitas, dan keadilan sosial. Dengan demikian, islam tidak hanya menawarkan penyelesaian konflik, tetapi juga visi besar tentang perdamaian positif, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil, harmonis, dan bermartabat. (Muhammad Ahlam/Editor: Indra Oktafian Hidayat)
