Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D., menyampaikan ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H di Masjid Kampus UGM, Selasa (2/4). Ia menjelaskan, terdapat relasi positif antara indeks kepatuhan kepada hukum dan konstitusi terhadap tingkat korupsi dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dua hal tersebut dapat menjadi indikator kemajuan suatu bangsa.
Prof. Iwan menyebut tiga ciri penting sebuah negara hukum, yakni keharusan negara atau penguasa untuk tunduk kepada hukum, penghormatan pemerintah terhadap hak-hak individu, dan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Menurutnya, jika pemerintah yang mempunyai kekuasaan besar tidak tunduk pada hukum dan konstitusi, maka pertanda tidak baik bagi sebuah negara yang mengklaim sebagai negara hukum.
“Negara maju tadi punya tradisi pemerintahnya yang tunduk kepada hukum. Kalau sebuah negara tidak mempunyai tradisi pemerintahnya yang tunduk pada hukum dan konstitusi, maka negara tersebut sedang ada pada masalah,” ujarnya.
Menurut Bank Dunia, ada keterkaitan positif juga antara tingkat indeks kepatuhan terhadap hukum dengan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang tingkat kepatuhan terhadap hukum dan konstitusinya baik bisa menjadi tempat yang subur untuk investasi. Hal itu karena investor percaya dengan sistem hukum di negara tersebut.
Lebih lanjut, Prof. Iwan mengungkapkan salah satu aspek yang harus dievaluasi sebuah negara yang mempunyai masalah pertumbuhan ekonomi adalah kepastian hukum (certainty of law), yaknu sejauh mana sistem itu memberikan keamanan, kenyamanan, dan kepastian hukum. Selama suatu negara tidak bisa memberikan hal tersebut, investor tidak akan mau berinvestasi dan jika itu terjadi, maka negara itu mempunyai problem dengan pertumbuhan ekonomi.
“Problem kita adalah budaya hukum, kemudian aparat hukum kita perlu meningkatkan lagi kemampuannya untuk menunjukkan bahwa institusi hukum itu bisa dipercaya, peradilan itu tidak memihak, independen dan imparsial,” katanya.
Ia juga menjelaskan beberapa contoh kisah di mana Islam menunjukkan kepatuhan terhadap hukum dan konstitusi. Nabi Muhammad telah mencontohkan prinsip kepatuhan terhadap hukum dan konstitusi, yang mana dalam suatu hari beliau mengatakan jika Fatimah mencuri maka beliau sendiri akan memotong tangannya. Menurutnya, Nabi telah menunjukkan kesamaan di depan hukum (equality before the law), bahwa hukum itu tidak tebang pilih.
Prof. Iwan juga menjelaskan cerita mengenai pembatasan kekuasaan yang telah dicontohkan oleh Umar bin Khattab. Ia mengisahkan, tidak ada pretensi Umar bin Khattab untuk membangun dinasti ketika ia berkuasa, dan ia justru marah ketika sahabatnya mengatakan bahwa anaknya layak menjadi seorang gubernur di Mesir. Menurut Iwan, apa yang dilakukan Umar adalah self-limitation of power, membatasi kekuasaannya sendiri.
“Di dalam tata negara kita menyebut limitation of power. Sebuah negara modern itu ada prinsip pembatasan kekuasaan, karena kekuasaan itu jika terlalu besar, absolut, eksesif, akan berbahaya, bisa disalahgunakan,” katanya.
Menurutnya, sejarah Islam sudah memberikan pelajaran bahwa bangsa yang besar bisa tumbuh menjadi sebuah bangsa karena memiliki tingkat kepatuhan kepada hukum dan konstitusi. Jika pemimpin sebuah negara itu bisa memberikan contoh tentang pembatasan kekuasaan, equality before the law, dan distribusi kekayaan yang merata, maka lebih mudah untuk mendidik rakyat agar mereka mengikuti prinsip-prinsip yang ada dalam hukum dan konstitusi. (Meitha Eka Nurhasanah/Rama S./Dok: Tim Media Masjid Kampus UGM)