Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. apt. Edy Meiyanto, M.Si. menyampaikan ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H, Minggu (7/4) di Masjid Kampus UGM. Prof. Edy menyampaikan bahwa berbagai spesies tanaman sudah digunakan manusia untuk membantu mengobati penyakit sejak tahun 1500 SM. Dalam ceramah bertajuk “Memanfaatkan Obat Alam Untuk Memelihara Kesehatan & Pengobatan Penyakit Dalam Tubuh”, ia mengajak jamaah untuk memahami kondisi Negeri Saba, yang makmur karena keunggulan teknologi pengobatan herbalnya.
Ia melanjutkan, dalam Surah Saba ayat 15 dijelaskan mengenai cara negeri Saba dapat mencapai kemakmuran. Di ayat tersebut diterangkan, di Negeri Saba terdapat banyak kebun dan makanan yang dianugerahkan Allah kepada penduduk negeri tersebut. Kemudian Allah menegaskan pada ayat yang sama bahwa Negeri Saba merupakan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur”, negeri yang penuh kebaikan dan penuh ampunan oleh Allah.
“Negeri Saba mempunyai sistem pengembangan pemerintahan dan masyarakat yang berkeadilan termasuk dalam pemanfaatan sumber daya alam yang efektif dan efisien. Mereka membuat Bendungan Ma’rib yang kemudian bendungan tersebut dimanfaatkan untuk pertanian,” katanya.
Menurutnya, Negeri Saba dapat maju seperti itu karena tokoh pembangunan utamanya adalah Ratu Bilqis bersama Nabi Sulaiman. Pada zaman itulah, lanjutnya, terjadi pertukaran spesies tanaman dan obat-obat herbal melalui Makkah, Syam, Romawi, India hingga ke Indonesia. Dengan adanya pertukaran tersebut, terjadi interaksi sehingga memberikan kekayaan terhadap ilmu herbal. Oleh karena itu, tidak heran ketika pada zaman Rasulullah, ilmu pengobatan herbal berkembang cukup pesat, yang ditandai oleh munculnya ilmu thibbun nabawi.
Prof. Edy melanjutkan, herbal di Indonesia disinyalir sudah digunakan sejak zaman Mesir kuno, seperti pada proses pengawetan mumi yang diduga balsemnya diperoleh dari Indonesia. Intinya, herbal memiliki sejarah paling kuno terkait dengan pengobatan manusia. Sesuai dengan pesan dari Al-Quran “wasykurullah”, “dan bersyukurlah kalian kepada Allah”, salah satu sebab Negeri Saba yang hancur ialah tokoh-tokoh kunci dari negeri tersebut tidak bersyukur.
Kemudian ia menceritakan runtuhnya negeri yang makmur tersebut, yang dimulai dari pergolakan sosial sampai jebolnya Bendungan Ma’rib. Pergolakan sosial di Negeri Saba disebabkan tidak adanya lagi komitmen pemerintah dan masyarakat terkait kesyukuran, merawat lahir dan batin karunia dari Allah ta’ala atas kemakmuran negeri mereka. Salah satu kisah yang dikutip dari sejarawan adalah kebijakan perubahan rute perdagangan yang tadinya “mampir” ke kota-kota di jazirah Arab menjadi langsung ke Syam dan Romawi sehingga muncul pergolakan sosial di Negeri Saba.
“Hal ini merupakan contoh tidak bersyukurnya masyarakat dan pemerintah dalam bentuk tidak dapat mengelola sumber-sumber kekayaaan alam dan nilai-nilai kebaikan luhur tidak dikembangkan dan dilestarikan,” ujarnya.
Menurutnya, berdasarkan kisah timbul tenggelamnya Negeri Saba, salah satu cara bersyukur adalah ikut melestarikan dan mengembangkan pengobatan herbal, karena herbal sendiri adalah anugerah Allah ta’ala kepada makhluknya. Di Indonesia sendiri, lanjutnya, pengembangan teknologi pengobatan herbal kurang memadai, di mana hanya terdapat pusat studi, laboratorium pelayanan namun tidak ada pusat riset unggulan. Maka, tantangan bagi umat Islam adalah autentifikasi produk herbal dan jaminan kehalalan produk herbal. (Muhammad Rizal Effendi/Rama S./Dok: Tim Media Masjid Kampus UGM)