Dalam ceramah tarawih Ramadhan Public Lecture (RPL) pada Senin (3/4) di Masjid Kampus UGM, Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Dr. Tiar Anwar Bachtiar memaparkan mengenai sekelompok kecil orang yang menjadi inti dari sebuah peradaban. Kelompok ini biasa disebut creative minority (minoritas kreatif). “Yang menjadikan bangun dan berdirinya sebuah peradaban, tidak ditentukan dari banyak tidaknya orang yang menjadi partisipan, tetapi dari kekonsistensian sebuah kelompok kecil atau creative minority,” sebutnya.
Beliau memulai ceramahnya yang bertajuk “Kebangkitan dan Kejatuhan Peradaban Islam: Suatu Sketsa Sosio-Politik” ini dengan cerita Raja Talut yang berperang menghadapi Raja Jalut di mana pasukannya diuji oleh Allah dengan sebuah sungai besar dan yang berhasil melewatinya hanya sekitar 300 orang dari 3.000 orang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tidak selalu menentukan keberhasilan.
Ketika Indonesia masih dalam masa penjajahan, lanjutnya, Indonesia mengalami banyak sekali krisis yang menyengsarakan rakyat, seperti kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam kondisi seperti inilah, creative minority itu muncul. “Sebut saja Ir. Soekarno, Ahmad Dahlan, dan Agus Salim. Mereka pada awalnya hanyalah kelompok-kelompok diskusi yang berpikir bagaimana caranya bisa menyelamatkan bangsa ini. Perjuangan mereka tidak sebentar, tapi atas izin Allah yang melihat konsistensi mereka, mereka dimenangkan,” papar Tiar.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan ada dua model creative minority. Yakni yang memiliki akhlak yang baik lewat pengajaran dan pemahaman agama, serta orang-orang yang punya mimpi. Tiar mengibaratkan kelompok-kelompok itu seperti lilin yang menerangi kegelapan di sekitarnya dengan membakar dirinya sendiri, karena salah satu ciri dari creative minority adalah seseorang yang tidak pernah berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Pikiran seperti itulah yang membuat orang-orang seperti ini cocok untuk menjadi fondasi sebuah peradaban.
Namun demikian, semakin ke sini kelompok-kelompok kecil itu semakin menghilang karena individualitas yang semakin mengakar. Padahal, jatuhnya suatu peradaban disebabkan oleh creative minority yang hilang. Untuk itu Dr. Tiar berpesan di akhir ceramahnya, “Kita hanya perlu kelompok-kelompok kecil sebagai fondasi penggerak peradaban. Karena kalau kita tidak memperbarui peradaban, kita hanya akan bisa memikul puing-puingnya.” (Hanung Maura W./Editor: Rama S. Pratama/Foto: Dwi Adhe Nugraha, Musyarrafah Mudzhar)