Diskusi Rutin Keilmuan Profetik
Kamis, 29 Maret 2018
Bersama Dr.Arqom Kuswanjono
(Koordinator Pusat Kajian/Riset Keilmuan Profetik Masjid Kampus UGM, Dekan Fakultas Filsafat UGM)
“Integrasi Ilmu dan Agama dalam Islam”
Dr. Arqom pernah menulis buku berjudul Integrasi Ilmu dan Agama Perspektif Filsafat Mulla Sadra. Mulla Sadra merupakan tokoh Persia yang menghidupkan kembali tradisi filsafat yang telah lama kurang berkembang pasca Ibnu Rusyd. Banyak ayat di dalam Al Qur’an terkait permintaan untuk berpikir, sehingga itulah basis filsafat untuk berpikir sedalam-dalamnya. Apakah ada problem tentang hubungan Ilmu dan Agama? Realitanya, ada. Masing-masing ilmu memiliki problem-problem yang dilematis berkaitan dengan agama, bahkan dalam dunia kedokteran gigi pun ada, misalkan bagaimana tentang hukum implant gigi dll. Dalam kasus klasik, heliosentris dan geosentris merupakan contoh tentang hubungan agama dan ilmu di masa lalu, selain itu juga tentang kasus teori evolusi dan teori kreasionisme. Tipologi hubungan ilmu dan agama menurut Ian Barbour: konflik, independensi, dialog dan integrasi.
Tipologi independensi merupakan suatu upaya untuk menghindari konflik. Namun dalam independensi ternyata ada problem yaitu split personality. Tipe dialog masing-masing menyadari adanya keterbatasan masing-masing sehingga membutuhkan dialog antar keduanya. Tipe keempat yaitu integrasi yang biasanya difahami oleh orang-orang yang menerima kebenaran dari keduanya. Ada kebenaran yang mutlak dan ada yang sifatnya relatif. Yang relatif adalah yang dikembangkan oleh manusia, tidak mutlak.
Ada beberapa model integrasi dalam dunia Islam. Yang pertama ada model Maurice Bucaille, berawal dari penelitian mengenai mummy Fir’aun. Namun gerakan ini ada kritik yaitu lebih ke gerakan cocoklogi. Islamisasi ilmu juga ada kritik seperti itu, misal dari Prof. Kunto dan Sadra yang melakukan kritik tentang klaim perkembangan ilmu Barat dari Islam yang dalam beberapa hal terkandung cocoklogi, walau menurut Dr. Arqom kritik ini tidak sepenuhnya benar. Apakah ilmu bisa diintegrasikan? Yang diintegrasikan bukan ilmunya namun cara pandang terhadap ilmu itulah yang dapat diintegrasikan.
Ada tiga tokoh utama epistemologi Barat (modernisme): pertama, Rene Descartes dengan kredo cogito ergo sum. Kedua, Auguste Comte yang menggaungkan tentang positivisme ilmu, yaitu ukuran-ukuran kebenaran berupa rasional-empiris, observable, experimentable, measurable dan predictable. Di titik inilah agama disingkirkan karena agama tidak mampu memenuhi ukuran kebenaran ala positivisme. Setiap ilmu sebenarnya ada paradigma dan kadang hal itu bisa dipaksakan. Tokoh ketiga yaitu A.J Ayer tentang teori verifikasi yaitu kebermaknaan melekat pada pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya. Beliau menekankan tentang obyektifitas ilmu dan melakukan reduksi atas metafisika, etika dan estetika. Misal tentang lomba estetika ada ukurannya, tentang lukisan yang indah juga harus ada ukurannya.
Beberapa tanggapan mengenai modernisme ini, diantaranya adalah: epistemologi ilmunya sangat human centric. Selain itu, masalah manusia yang kompleks tidak dapat diselesaikan dengan positivistik saja, misalkan ada kisah mengenai Ibnu Sina yang tidak menyembuhkan orang dengan obat namun dengan musik. Masalah tafsir tentang obyek dari masing-masing ilmuwan juga tidak dapat dilepaskan. Jurgen Habermas juga melontarkan kritiknya bahwa tidak semua ukuran dapat diterapkan dimanapun, sedangkan positivisme sudah berkembang menjadi ideologi tertutup. Paul Feyerabend lebih keras lagi, yaitu ilmu itu dekat dengan mitos, ilmu yang katanya rasional sudah terjebak karena mengklaim bahwa dirinya saja yang benar. Otoritas yang kuat bukan terletak pada rasionalitasnya lagi namun karena propaganda-propaganda sehingga mendominasi kebenaran.
Dalam agama itu memang ada sisi dogmatiknya yang tidak bisa dipahami secara rasional. Dan itu sah saja. Bahkan dalam rasional pun ada yang namanya meta-rasional, yang itu rasional namun penyebabnya belum bisa dijelaskan. Thomas Kuhn skeptis karena jika hukum Newton yang dulunya dianggap universal saja dapat digoyahkan oleh teori Einstein, maka apakah ada obyektifitas? Tidak ada yang 100 persen obyektif. Kuhn berkata bahwa satu teori yang didasarkan atas satu paradigma tertentu tidak dapat dibandingkan dengan teori yang berdasar atas paradigma yang lain. Dalam paradigma ilmu sosial, tidak ada kebenaran yang tunggal. Dalam dunia positivisme, setiap penyembuh terhadap suatu masalah telah menyebabkan masalah yang baru. Maka ilmu modern yang positivistik, menurut Kuhn, meniscayakan perlunya perubahan paradigma, namun Kuhn tidak menjelaskan lebih lanjut tawaran mengenai paradigma baru ini. Di titik inilah tawaran kita mengenai paradigma profetik layak kita perjuangkan untuk sumbangsih dalam dunia pengetahuan.
Epistemologi ilmu dalam Islam didasarkan atas ontologi ilmu yang bukan human centric, namun God centric (tauhid). Ada dua macam pengetahuan, pertama pengetahuan hushuli yaitu pengetahuan capaian seperti yang kita pelajari di perguruan tinggi kita selama ini. Kedua, yaitu pengetahuan hudhuri, yaitu pengetahuan yang hadir yang dikaruniakan, misalkan karya-karya Rumi yang lahir dari dzikirnya. Ilmu hudhuri dapat dilakukan melalui pendekatan kepada Allah melalui olah rasa dan olah jiwa. Maka dalam Islam tidak ada ruang bagi sekularisme ilmu. Ghazali pernah bilang bahwa ilmu itu tidak perlu dicari, tapi diminta karena pemilik ilmu yaitu Allah ketika ingin memberikan ilmu pada hamba-Nya akan diberikan.
Insan harus mengkaji dan tekun meneliti mengenai pengetahuan dan alam imajinal ini, yang selama ini banyak ditekuni oleh orang-orang Barat. Alam imajinal merupakan alam yang menggantung yang butuh upaya manusia untuk dapat meraih makna dan ilmunya. Mengenai mana yang lebih tinggi antara ilmu dan agama, tergantung pada struktur ontologisnya. Al ‘Alim adalah pusat dan sumber ilmu sehingga tidak ada ilmu di luar ilmu Allah. Semakin dekat kepada Allah maka semakin tinggi penguasaan ilmunya karena dekat dengan sumber ilmu yaitu Allah. Dalam perspektif positivisme, ilmu makin tinggi ketika makin jauh dengan agama namun dalam Islam, justru sebaliknya.
Dimana letak integrasinya ? Menurut Dr. Arqom, seluruhnya. Ilmu yang dominan mengenai rasio dan empiri menyisakan ruang bagi intuisi dan wahyu. Agama sebaliknya, lebih dominan menggunakan intuisi dan wahyu namun menyisakan ruang bagi rasio dan empiri. Hal ini agar tidak menyebabkan rasio-empirisasi agama dan teologisasi ilmu. Ilmuwan harus selalu melakukan gerak eksistensial mendekatkan diri kepada Allah agar menemukan kebenaran dan kebaikan ilmu yang sesungguhnya dan sebaiknya. Belajar mengenai alam juga merupakan salah satu bentuk belajar tentang agama.
Jika ingin didefinisikan, paradigma kita adalah teolo-antroposentrik, jadi tidak dipisahkan antara ilmu Allah dan ilmu manusia. Secara rasio pun, kita sebenarnya bisa yakin tentang adanya Allah dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan. Misal tentang fakta keteraturan alam semesta yang tentu meniscayakan adanya pengatur yang oleh agama dikabarkan itulah Tuhan, oleh filsafat disebutkan itulah Causa Prima dll. Dalam kasus Einstein pun, beliau juga mengaku sebagai Teis, walaupun beliau juga menambahkan bahwa tipe Teis-nya berbeda dengan versi agamawan, namun Teis fisikawan yang mengandalkan pembuktian-pembuktian rasio.
Download Materi Integrasi Agama & Ilmu (Dr. Arqom Kuswanjono)
(pic. source: aboutislam.net)
MEMBUMIKAN FUNGSI TERAS-TERAS MASJID UNTUK PENGEMBANGAN SAINTSTEK & SOLUSI ISU UMAT KEKINIAN YANG BERAGAM DAN UNIK DEMI KEBAIKAN BERSAMA DALAM BALUTAN “AJRUN GHAIRU MAMNUN” ALLAH SWT