Masjid Kampus UGM kembali menyelenggarakan Kajian Kamis Sore dengan menghadirkan narasumber Prof. Dr. Abdul Mustaqim, Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada kesempatan ini, beliau membawakan tema “Menimbang Kejernihan Iman: Refleksi Qur’ani atas Hidup dan Hati”, yang menyoroti keterkaitan antara kualitas iman dan kesehatan mental dalam perspektif Al-Qur’an.
Dalam pemaparannya, Mustaqim menjelaskan bahwa kejernihan iman merupakan faktor penting yang memengaruhi ketenangan batin. Merujuk pada Surah Ar-Ra’d ayat 28, beliau menyampaikan bahwa hati yang dipenuhi zikrullah akan memperoleh ketenteraman. Kejernihan iman, menurutnya, hanya dapat terwujud apabila seseorang menjaga diri dari syirik, riya, kemunafikan, dan berbagai sifat yang dapat mengeruhkan hati.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa iman harus dibangun di atas landasan ilmu, sebagaimana firman Allah “Fa’lam annahu laa ilaaha illallah”. Seluruh disiplin ilmu, termasuk ilmu umum yang dipelajari mahasiswa, dapat bernilai ibadah apabila mengantarkan kepada kesadaran ketuhanan. Beliau juga menegaskan pentingnya zikir, amal saleh, dan istiqamah sebagai unsur yang memelihara dan menyuburkan iman.
Muhadjir Effendy: Pembangunan Manusia Indonesia Harus Dimulai dari Daerah Pinggiran
Mustaqim turut memaparkan tiga tingkatan nafsu dalam Al-Qur’an, ammarah, lawwamah, dan mutmainnah, seraya menjelaskan bahwa jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah) merupakan hasil dari keimanan yang bersih dan konsisten. Ia juga menyoroti faktor-faktor yang dapat mengotori iman, seperti hasad, hawa nafsu yang tidak terkendali, pergaulan yang buruk, dan pengaruh lingkungan digital.
Pada sesi refleksi, beliau mengajak jamaah melakukan penilaian diri melalui indikator kesehatan mental yang mencakup aspek emosi, kognisi, perilaku, dan fisik. Menurutnya, kejernihan iman memiliki peran signifikan dalam menjaga stabilitas mental dan menghadirkan kebahagiaan hidup.
Dalam sesi tanya jawab, Mustaqim memberikan penjelasan mengenai fenomena pembaca Al-Qur’an yang fasih namun perilakunya tidak mencerminkan nilai Qur’ani. Beliau menyebutkan bahwa perilaku demikian dapat menjadi peringatan keras sebagaimana disebutkan dalam hadis, namun tetap perlu disikapi dengan pendekatan dakwah yang bijaksana. Beliau juga menegaskan bahwa seseorang tetap berstatus muslim selama tidak menolak kewajiban agama, serta menolak keras praktik pemaksaan agama kepada anak karena bertentangan dengan prinsip “laa ikraaha fid din”.