Webinar bertajuk Reformasi Kebijakan Pemindahan Ibu Kota Negara dengan Pendekatan Environmental Impact Assessment dan Normatif Islam diselenggarakan pada Rabu (29/10) pukul 15.30–17.00 WIB melalui kanal YouTube Masjid Kampus UGM. Acara ini merupakan bagian dari seri Webinar Integrasi Ilmu Agama Seri Studi Lingkungan Hidup, dengan menghadirkan Dr. Wahyu Yun Santoso, S.H., M.Hum., LL.M., selaku Ketua Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Dalam pemaparannya, Dr. Wahyu menyoroti urgensi reformasi kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dengan mempertimbangkan aspek hukum, lingkungan, dan nilai-nilai moral keagamaan. Ia menegaskan bahwa pembangunan IKN bukan sekadar proyek fisik, tetapi juga keputusan yang memiliki konsekuensi ekologis, sosial, dan spiritual.
Menurutnya, Environmental Impact Assessment (EIA) atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) harus menjadi landasan utama dalam setiap proyek pembangunan besar, terutama yang berimplikasi pada tata ruang dan kehidupan masyarakat luas. “Pendekatan EIA bukan hanya alat administratif, tetapi instrumen moral dan etis untuk memastikan keadilan ekologis,” tegasnya.
Dr. Wahyu mengungkapkan bahwa pemindahan IKN ke Kalimantan Timur harus dilihat melalui dua pendekatan: rasional dan normatif. Pendekatan rasional menekankan analisis teknis dan kebijakan, sedangkan pendekatan normatif Islam mengacu pada prinsip amanah, keadilan, dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Ia menilai bahwa keduanya perlu dipadukan agar pembangunan tidak sekadar mengejar efisiensi, tetapi juga keberlanjutan dan kemaslahatan.
Baca juga: Ghifari Yuristiadi Ajak Pemuda Muslim Melihat Traveling sebagai Ibadah, Bukan Sekadar Healing
“Dalam Islam, segala kebijakan harus memperhatikan kemaslahatan umum (maslahah al-‘ammah) dan menghindari kerusakan (mafsadah). Maka ketika kita bicara pembangunan, kita bicara tanggung jawab moral terhadap lingkungan dan generasi mendatang,” ujarnya.
Ia juga menyinggung bahwa pembangunan IKN semestinya tidak hanya berfokus pada simbolisasi kemajuan, tetapi juga memperhatikan daya dukung lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pembangunan yang abai terhadap keseimbangan alam, menurutnya, dapat menciptakan masalah hukum baru di kemudian hari, seperti konflik lahan, ketimpangan sosial, hingga kerusakan ekologis.
Dalam sesi tanya jawab, peserta menyoroti berbagai isu aktual, mulai dari kesiapan hukum dalam pemindahan IKN hingga dampak sosial bagi masyarakat lokal. Menanggapi hal itu, Dr. Wahyu menekankan pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam setiap proses perencanaan. Ia juga menyebut bahwa paradigma pembangunan di Indonesia perlu bertransformasi dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif dan berkeadilan.
“Pembangunan harus melibatkan masyarakat sebagai subjek, bukan sekadar objek. Ketika masyarakat merasa dilibatkan, mereka akan turut menjaga keberlanjutan hasil pembangunan itu sendiri,” jelasnya.
Beberapa peserta juga menanyakan tentang peran hukum Islam dalam menjawab isu-isu lingkungan modern. Menanggapi hal tersebut, Dr. Wahyu menegaskan bahwa hukum Islam memiliki prinsip universal yang relevan dengan konteks ekologis saat ini. “Islam mengajarkan keseimbangan dan moderasi (wasathiyyah). Prinsip itu bisa menjadi dasar etik untuk mengawal kebijakan pembangunan agar tidak merusak alam,” tutturnya.
Ia menambahkan, reformasi kebijakan pemindahan IKN harus disertai penguatan regulasi lingkungan dan komitmen moral pemerintah. Tidak cukup hanya dengan peraturan tertulis, tetapi juga dengan kesadaran spiritual bahwa manusia bertanggung jawab atas bumi yang dipinjamkan Allah.
“Pembangunan yang berkeadilan adalah pembangunan yang selaras dengan nilai-nilai ketuhanan. Kalau kita hanya melihat pembangunan dari sisi fisik dan ekonomi, kita akan kehilangan makna keberlanjutan sejati,” tegasnya menutup sesi. (Aulia Mahdini)