Pusat Kajian/Riset Keilmuan Profetik Masjid Kampus UGM pada Jum’at, 16 Maret 2018 bertempat di Ruang Sidang 2 Masjid Kampus UGM mengadakan acara publik perdana dengan mengadakan Diskusi Publik Paradigma Profetik #1 dengan mengangkat tema “Paradigma Profetik: Revolusi Sains ?” dengan pembicara Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil., Ph.D. Diskusi publik perdana ini sebagai wadah mensyiarkan ide/wacana keilmuan paradigma profetik ke khalayak khususnya, dunia akademis. Wacana integrasi agama dan ilmu menjadi wacana yang menarik dalam dunia akademik termasuk, kampus UGM yang memiliki tanggungjawab besar keilmuan di Indonsia.
Adapun gagasan pengintegrasian antara Islam dan ilmu pengetahuan ini sebenarnya sudah banyak yang mengembangkan. Ilmuan seperti Ziauddin Sardar, Maurice Bucaille, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ismail Raji Al-Faruqi telah turut berupaya dalam gerakan intelektual ini. Dalam konteks kita (red: UGM), Prof. Kuntowijoyo, Guru Besar Sejarah UGM, juga mengembangkan hal ini dalam konteks yang sedikit berbeda. Tolak ukurnya adalah Islam yang kemudian diupayakan untuk di-ilmukan atau diobyektifikasi. Tawaran yang disediakan oleh beliau adalah Ilmu Sosial Profetik. Kita sebagai manusia bukan sekedar makhluk empiris, namun juga ada dimensi non-empirik atau metafisik yang harusnya juga tercakup dalam semua kajian ilmu kita. Maka keberadaan kita adalah menawarkan suatu paradigma dan struktur keilmuan yang baru ini pada dunia ilmu pengetahuan.
Kerja paradigma ini adalah upaya untuk mengokohkan struktur pemikiran Prof. Kuntowijoyo. Keberadaan kita di Universitas adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, bukan untuk berpolitik dll. Pengembangan ilmu pengetahuan adalah dengan melakukan pengembangan paradigma. Ada dua langkah dalam pengembangan paradigma, yaitu membangun paradigma baru atau mengokohkan dan mengembangkan paradigma yang sudah lama. Apa yang dimaksud dengan ilmu profetik ? Adakah hal itu ?
Ilmu profetik adalah ilmu yang bercirikan kenabian. Untuk sekarang belum jadi belum ada namun hal inilah yang ingin kita bangun dan adakan. Gagasan Prof. Kunto bukanlah hal yang baru dalam dunia Islam. Prof Kunto banyak dipengaruhi oleh Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Kedua tokoh tersebut mengusulkan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Prof. Kunto mengusulkan istilah teologi menjadi ilmu sosial sehingga istilah Teologi Transformatif diubah menjadi Ilmu Sosial Transformatif. Menurut Prof. Kunto kita perlu memahami Al Qur’an sebagai paradigma. Di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigma Al Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis. Ilmu sosial profetik adalah ilmu sosial transformatif, maka tujuannya adalah adanya suatu rekayasa sosial.
Adapun pengembangan lanjut paradigma profetik banyak mendapat inspirasi dari strukturalisme yang dikembangkan oleh ahli antropologi Perancis: Claude Levi Strauss. Kemudian mampu melahirkan suatu implikasi etis: Humanisme-Teosentris. Dalam pemikiran Prof. Kunto, diperlukan konsepsi paradigma yang jelas dan pembahasan basis filosofis yang belum diselesaikan oleh beliau. Apa itu paradigma? Thomas Kuhn menggunakan kata paradigma namun menurut Prof. Heddy ada 17 makna paradigma sehingga kadang penggunaannya di dalam buku Kuhn tidak konsisten.
Perbaikan dari Kuhn mengenai paradigma ada dalam “post script – 1969”, dan disitu Kuhn mengemukakan 5 unsur paradigma. Paradigma yang diajukan oleh Prof. Heddy ada 9 unsur secara teoritis, namun dalam praktiknya sangat mungkin untuk bertambah. Sembilan unsur itu terdiri atas unsur implisit (nirsadar) dan eksplisit (sadar). Unsur nirsadar terdiri atas asumsi dasar, nilai-nilai dan model. Ketiga hal ini terkadang tidak kita sadari namun sangat penting yang menunjukkan bahwa ilmu itu sarat nilai, bukan bebas nilai. Kesembilan unsur ini saling berhubungan satu dan lainnya.
Asumsi dasar (basis epistemologis), nilai-nilai (basis aksiologis) dan model atau analogi (basis ontologis) sebagai hal yang mendasari keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan. Basis filosofis utama: posisi manusia di dalam jagat raya, keutamaan pengetahuan, keutamaan mencari pengetahuan, keutamaan memiliki dan menggunakan pengetahuan. Keempat hal ini harus diambil dari Islam, bukan dari basis yang lain. Ilmu profetik itu adalah harmonisasi antara zahir knowledge dengan inner knowledge.
Dalam kedua hal ini, kemampuan yang paling penting adalah kemampuan berbahasa, karena perbedaan antara manusia dan binatang adalah kemampuan untuk menangkap tanda-tanda (simbol) yaitu bahasa. Ilmu profetik memiliki obyek dari sensed world, cognized world, experienced world hingga non-existence world. Etos paradigma profetik adalah kerja keabdian, keilmuan, kemanusiaan dan kesemestaan. Kerja keilmuan ini penting karena sebagai manusia, selain hubungan dengan Allah, manusia dan alam, juga ada kewajiban untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pembeda antara ilmu profetik dengan empirisisme dan rasionalisme adalah adanya wahyuisme.
Link Download Materi
Mencerahkan dalam mencapai derajat berkah tiada akhir/ganjaran kang ora pedhot-pedhot/ajrun ghairu mamnun Allah SWT…