Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si hadir sebagai narasumber pada Kajian Kamis Sore di Masjid Kampus UGM (21/8). Ia membedah fenomena “kabur aja dulu” yang ramai di awal 2025. Menurutnya, ungkapan itu muncul sebagai ekspresi kekecewaan generasi muda terhadap sulitnya mencari pekerjaan, mahalnya biaya hidup, dan ketidakpastian ekonomi.
“Banyak yang akhirnya berpikir peluang di luar negeri lebih menjanjikan. Ini bukan sekadar lemah mental, tapi juga bentuk strategi bertahan hidup,” ujarnya.
Hempri menyoroti gelombang PHK massal di berbagai sektor yang menurunkan daya beli masyarakat. Fenomena “rojali” (rombongan jarang beli) dan “rohana” (rombongan hanya nanya) menjadi gambaran nyata. Data terbaru menunjukkan kemiskinan desa masih 11%, sementara kemiskinan kota naik dari 6,2% ke 6,7%. Angka pengangguran resmi 7,2 juta jiwa, namun jika dihitung terselubung bisa mencapai 15 juta.
Selain faktor ekonomi, budaya inferior dan konsumtif juga memperparah keadaan. “Kita lebih bangga pada produk luar negeri, sementara inovasi lokal sering berhenti di prototipe,” jelasnya.
Hempri menilai negara belum konsisten menangani persoalan struktural. Program sering berganti setiap ada pergantian kepala daerah, penanganan anak jalanan masih lemah, sementara politik lebih dominan menjelang pemilu. Ia juga menyinggung budaya mistis menjelang ujian serta budaya selebriti yang menanamkan pola hidup konsumtif.
Sebagai perbandingan, ia menyebut fenomena di Tiongkok, di mana generasi muda memilih tidak membeli rumah sebagai bentuk protes terhadap kapitalisme.
Baca juga: Hakimul Ikhwan Tegaskan Nilai-Nilai Kenabian Sebagai Soft Power Perdamaian
Menanggapi pertanyaan soal kelas menengah yang memperpanjang studi demi menghindari tekanan sosial, Hempri menjelaskan, “Standar kapitalistik seperti ditanya kerja di mana, gaji berapa, atau rumahnya di mana sering jadi beban. Akhirnya banyak menunda. Padahal jalur wirausaha juga penting untuk bangsa.”
Ia menutup dengan penekanan pada nilai agama, disiplin, dan optimisme. “Fenomena kabur aja dulu jangan hanya dimaknai kelemahan mental. Ini juga tanda keberanian mencari peluang baru. Namun kita tetap harus membangun dari dalam negeri,” pungkasnya. ( Asma’ Nur Athifah / Editor: Indra Oktafian Hidayat / Foto: YouTube Masjid Kampus UGM )
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=wk2Hy6WCMKs[/embedyt]