
Dai Yogyakarta, Afifi Abdul Wadud, B.A., menyampaikan kajian Mimbar Subuh bertajuk “Menelusuri Sebab-sebab Puasa Gagal Menjadi Benteng dari Maksiat” pada Jumat, 21 Maret 2025. Dalam kajian ini, beliau menekankan bahwa ketaqwaan adalah inti dari ibadah yang bermakna, sesuai firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 21, “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa.”
Afifi menjelaskan bahwa ibadah yang tidak mengantarkan pada ketaqwaan adalah ibadah yang sia-sia. “Ibadah yang di dalamnya tidak ada ruh ketaqwaan, maka ibadah tersebut hanya akan menjadi kesia-siaan belaka,” ungkapnya. Beliau menyoroti fenomena di mana banyak orang yang telah menjalankan ibadah, tetapi tetap melakukan maksiat.
Beliau juga memaparkan tiga keutamaan orang yang berpuasa, yaitu Orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu khusus bernama Ar-Rayyan, pahala puasa dilipatgandakan tanpa batas, dan orang yang berpuasa mendapat jaminan ampunan dari Allah. Namun, Afifi mengingatkan bahwa keutamaan ini tidak akan berarti jika puasa tidak disertai dengan ketaqwaan. “Berapa banyak orang yang berpuasa tidak dapat apa-apa, kecuali lapar dan haus,” tegasnya.
Lebih lanjut, Afifi menjelaskan bahwa ketaqwaan bukan sekadar tampilan lahiriah, tetapi harus meresap dalam hati dan diwujudkan dalam kehidupan nyata. Ketika iman dan ketaqwaan telah meresap dalam hati, ibadah akan terasa lebih nikmat dan bermakna. “Ketika iman (ketaqwaan) sudah benar-benar meresap dalam hati, maka akan tercipta rasa nyaman dan tenang dalam menjalankan ibadah,” ujarnya.
Afifi juga memaparkan tiga tingkatan dalam beragama: Islam, Iman, dan Ihsan. Tingkatan paling dasar adalah Islam, di mana seseorang secara zahir mengakui keesaan Allah dan melaksanakan syariat-Nya. Tingkatan selanjutnya adalah Iman, yaitu ketika kepercayaan terhadap Allah dan ajaran-Nya telah meresap ke dalam hati. Tingkatan tertinggi adalah Ihsan, di mana seseorang beribadah dengan kesadaran bahwa dirinya senantiasa diawasi oleh Allah.
“Ketiga tingkatan ini menggambarkan perkembangan spiritual seseorang. Mulai dari pengakuan zahir, keyakinan hati, hingga kesadaran akan pengawasan Ilahi,” jelas Afifi.
Sebagai penutup, Afifi menekankan bahwa syariat dalam ibadah bukan untuk memberatkan, melainkan untuk mewujudkan jiwa yang memiliki rasa pengagungan kepada Allah. “Syariat ini diperintahkan Allah bukan untuk membuat kita capek sholat, capek puasa, tapi dalam rangka mewujudkan jiwa yang punya rasa pengagungan kepada Allah,” pungkasnya.
Dengan niat yang tulus dan kesadaran akan ketaqwaan, ibadah akan terasa lebih bermakna dan nikmat. Ibadah tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih ridha-Nya. (Raizal Marandi/Editor: Ismail Abdulmaajid/Foto: Ramadhan Di Kampus UGM)