Krusialnya sektor pendidikan mengharuskan adanya sebuah reorientasi politik pendidikan yang mengarah kepada setidaknya tiga isu utama, yakni kesejahteraan guru, infrastruktur, dan tata kelola pendidikan. Topik inilah yang dibahas di dalam edisi Desember Maskam Public Lecture (MPL). Diikuti secara daring oleh lebih dari 250 peserta, MPL kali ini menghadirkan narasumber berlatar belakang akademisi, pegiat pendidikan, hingga pemangku kebijakan. Dipandu oleh praktisi pendidikan Andri Prayitno, M.Phil, MPL berlangsung dengan produktif selama hampir 3 jam.
“Tema ini penting karena pendidikan melibatkan berbagai komponen penting, infrastruktur, tata kelola, hingga politik pendidikan,” sebut Dr. Rizal Mustansyir, M.Hum., Ketua Takmir Masjid Kampus UGM, dalam sesi sambutan sebelum diskusi dimulai.
Senada dengan Dr. Rizal, Prof. Ir. Nizam, Ph.D., Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, menyambut positif diskusi MPL yang diadakan pada akhir tahun untuk merefleksikan kondisi pendidikan di Indonesia. Menurutnya, pendidikan merupakan kunci pembangunan negara, terutama bagi negara yang sedang bertransformasi menjadi negara maju seperti Indonesia.
Sebagai fondasi pembangunan, maka pendidikan harus dapat memerdekakan manusia dari kebodohan dan ketergantungan. Artinya, pendidikan menjadi sarana manusia berdikari, kreatif, dan kritis untuk kemudian membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Munculnya program Merdeka Belajar sejalan dengan fungsi pendidikan tersebut. Nizam menyebut beberapa tujuan program tersebut, di antaranya: membentuk karakter yang merdeka, berakhlak, berakal kritis, berkebhinekaan global, serta berjiwa pancasila. “Esensi Merdeka Belajar adalah untuk memerdekakan manusia dari ketidaktahuan. Wujudnya berupa kebijakan yang mengatur guru hingga kurikulum,” terang Nizam.
Pentingnya Reformasi Pendidikan di Indonesia
Ada banyak persoalan pendidikan Indonesia, mulai dari kurikulum, fasilitas, hingga tata kelola guru. Dr. Jejen Musfah, Wakil Sekjen PGRI, dalam ruang yang sama memaparkan masalah kualifikasi guru. Ada satu hal yang menurutnya menjadi akar persoalan, yaitu komitmen pemerintah. Program Kampus Merdeka contohnya, menurut Jejen, program tersebut belum menjadi solusi persoalan tenaga pendidik. “Merdeka Belajar hanya mengubah kurikulum, tidak sampai kualitas guru,” ujarnya.
Masalah kualifikasi guru bisa ditilik mulai dari seleksi masuk program studi keguruan. Jejen sempat bertanya kepada mahasiswanya di Fakultas Keguruan, UIN Jakarta tentang kesiapan mereka menjadi guru. Hampir semua menjawab belum siap menjadi guru. Kesiapan mahasiswa fakultas keguruan menjadi guru sangat penting karena berhubungan dengan komitmen dan bakat calon tenaga pendidik.
Tak hanya di proses seleksi, setelah lulus sarjana, calon tenaga pendidik harus mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Program tersebut tidak menjadi kewajiban, melainkan pilihan. Menurut Jejen, seharusnya PPG menjadi satu-kesatuan dalam kurikulum program studi keguruan. Hal itu menjadi penting mengingat PPG merupakan sarana pengembangan kompetensi guru mengejar. “PPG bukan pilihan, setelah lulus, secara otomatis ikut PPG,” kata Jejen.
Pembicara selanjutnya adalah Fadilla M. Apristawijaya, M.A., pegiat pendidikan Sokola Institute. Ia menuturkan bahwa persoalan krusial yang jarang dibahas di dalam isu pendidikan adalah kesinambungan antara sistem dan kurikulum pendidikan dengan konteks lokal masyarakat Indonesia. Pengalamannya dalam bersentuhan langsung dengan masyarakat adat di Lombok dan Sumba menunjukkan adanya ketidaksinambungan, misalnya adalah tentang minimnya pembelajaran bahasa lokal hingga pendidikan yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat adat. “Anak-anak di Tengger, Sumba, dan Bayan semua terlibat di dalam pertanian, tetapi itu (pertanian) tidak diajarkan di sekolahan,” sebut Fadilla. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa penting untuk menjadi dialogis, yakni dengan menggunakan cara pandang pembangunan berkelanjutan dalam memahami isu pendidikan.
Pembicara terakhir, Dr. Rr. Siti Murtiningsih, Dosen Fakultas Filsafat UGM, menekankan pada pentingnya reformasi mindset atau tata pikir guna menyehatkan pendidikan nasional. Seharusnya pendidikan dikembalikan lagi ke hakikat awalnya, yakni proses untuk “memanusiakan manusia”. Baginya, dari tiga isu utama yang diangkat di dalam MPL ini, keberadaan pendidik adalah yang paling krusial bagi pendidikan. Sayangnya, political will untuk mewujudkan kesejahteraan guru masih rendah. Menurutnya politik pendidikan nasional harus memihak pada pendidik dan kualitas dari pendidikan itu sendiri. “Membicarakan pendidikan harus melibatkan pembicaraan mengenai politik pendidikan,” pungkasnya. (Gembong Hanung, Musyarrafah Mudzhar/Editor: Rama S. Pratama)