Dr. Rudy Wiratama, S.I.P., M.A., dosen Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa FIB UGM menjadi khatib pada Jumat (14/5). Dengan tema “Berkaca dari Pemikir Muslim Jawa Terdahulu: Dialektika Ilmu dan Adab dalam Timbangan”, menghadirkan kembali hubungan mendalam antara Islam, kejawaan, ilmu, dan adab. Empat pilar yang menurutnya sedang mengalami “kepanglingan” akut dalam masyarakat modern.
Penyakit Pangling dalam Identitas Keislaman-Orang Jawa
Rudy kemudian mengurai gejala besar yang ia sebut “penyakit pangling”: ketidakmampuan mengenali diri, sejarah, dan nilai sendiri. Ia menegaskan bahwa Islam dan kejawaan bukan dua identitas yang berseberangan.
“Orang Jawa yang sejati pasti berperilaku Islami. Orang Islam yang sejati pasti tampil Jowo,” tuturnya.
Gejala kepanglingan menurutnya tampak pada sikap gumunan, kagetan, dan dumeh, terpukau hal remeh, mudah terprovokasi, dan merasa lebih dari yang lain. Salah satu contohnya, tindakan mengucap terima kasih atau mencium tangan guru dianggap kuno atau “kampungan”, padahal dua hal itu merupakan bagian dari adab Islam yang telah membumi dalam budaya Jawa.
Bahaya Ilmu Tanpa Adab
Mengutip hadis, ayat, hingga pepatah para ulama, Rudy menyebut bahwa adab adalah prasyarat turunnya ilmu. Ia mengutip QS. Al-Mujadalah ayat 11 yang menegaskan bahwa Allah meninggikan derajat orang beriman dan berilmu. “Namun sebelum ilmu itu turun, kita harus menyiapkan adab,” tegasnya.
Ia juga menyinggung fenomena zaman kini: meningkatnya “ustaz Google” dan debat kusir di media sosial. Kitab-kitab kuning tersedia gratis dalam bentuk PDF, namun dipakai tanpa pemahaman konteks. “Barang siapa belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan,” ujarnya, mengutip pepatah ulama.
Baca juga: Dokter Sagiran: Tidak Semua Penyakit Dapat Dijelaskan Secara Medis
Meresapi Kearifan Jawa: Wulang Reh dan Wedhatama
Dalam upaya menghadirkan rujukan lokal, Rudy mengutip dua karya besar sastra Jawa: Wulang Reh karya Pakubuwono IV dan Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV.
Dari Wulang Reh, ia menegaskan pentingnya memilih guru yang benar: berakhlak baik, ahli ibadah, dan waro’, serupa pedoman Imam Abu Hanifah dalam memilih guru Hammad.
Dari Wedhatama, ia menjelaskan bahwa “ngilmu iku kelakone kanthi laku” bukan berarti tirakat tanpa arah, melainkan kesiapan batin, keteguhan, dan pembersihan hati sebagai awal proses menuntut ilmu.
Ilmu dan Adab, Dua Sisi Mata Uang
Menutup khutbah, Rudy menegaskan bahwa adab lebih tinggi daripada ilmu, tetapi bukan berarti ilmu bisa ditinggalkan. “Ilmu tanpa adab akan menjadi pedang bermata dua,” ujarnya. Ia kembali mengutip Imam Abdullah bin Mubarak yang menyatakan bahwa manusia lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak hadis yang tidak diamalkan.
Menurutnya, lemahnya adab menyebabkan manusia gagal memenuhi amanah sebagai khalifatullah fil-ardh—pengelola bumi. Orang berilmu tetapi tanpa adab dapat merusak tatanan sosial, budaya, bahkan spiritualitas masyarakat.