Sakinah Academy kembali hadir membahas tema “Studi Kasus Pembagian Harta dalam Keluarga (Part 2)” pada Senin (10/11) dan kembali menghadirkan narasumber Dr. Ahmad Bunyan Wahib, M.Ag., M.A., dosen sekaligus pakar hukum Islam yang telah lama meneliti isu-isu kewarisan.
Dalam kesempatan tersebut, Bunyan menjelaskan secara mendalam mengenai bagian waris bagi cucu, terutama dalam konteks perbedaan antara hukum Islam klasik (faraidh) dan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia.
“Bagian waris cucu menjadi pembahasan yang menarik karena melibatkan dua sistem: faraidh yang bersumber dari fikih klasik, dan hukum positif Indonesia yang mengenal istilah ahli waris pengganti,” ujar Bunyan.
Beliau memaparkan bahwa dalam faraidh, cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menjadi ashabah (ahli waris yang mendapatkan sisa harta) jika tidak ada anak laki-laki pewaris. Sementara itu, cucu perempuan dari anak laki-laki bisa memperoleh setengah bagian jika sendiri, dua pertiga jika dua orang, atau seperenam sebagai pelengkap bagian anak perempuan.
Namun, Bunyan menekankan bahwa sistem faraidh ini tidak sepenuhnya mencakup kondisi yang dihadapi masyarakat modern. Di sinilah hukum nasional memberi ruang melalui “wasiat wajibah” dan “ahli waris pengganti”.
Baca juga: Zaitun Rasmin Tegaskan Qawwamah sebagai Seni Menjadi Pemimpin yang Dicintai dalam Keluarga
“Dalam sistem Mesir dan juga Indonesia, cucu yatim, yakni cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu dari pewaris, tetap bisa memperoleh bagian melalui wasiat wajibah, maksimal sepertiga harta. Sedangkan di KHI, ia memperoleh warisan sebagai ahli waris pengganti, namun bagiannya tidak boleh melebihi ahli waris se-derajat dengan yang digantikan,” jelasnya.
Selain soal teknis warisan, sesi tanya jawab memperkaya diskusi dengan kasus nyata, mulai dari anak adopsi hingga pembagian waris ketika pewaris masih hidup. Menanggapi hal itu, Bunyan menyebut bahwa anak angkat dapat menerima warisan melalui skema wasiat wajibah sebagaimana diatur dalam Pasal 209 KHI. Adapun pembagian waris semasa hidup dapat dilakukan dalam bentuk hibah, asalkan disepakati seluruh pihak.
Beliau juga menegaskan pentingnya menyegerakan pembagian warisan setelah pewaris wafat agar tidak menimbulkan kerumitan dan sengketa antarkeluarga. “Semakin cepat hak diberikan kepada yang berhak, semakin baik. Sebab jika ditunda-tunda, prosesnya bisa makin rumit hingga turun ke cucu atau cicit,” tegasnya.