Pembagian harta warisan merupakan salah satu persoalan yang paling sering menimbulkan ketegangan dalam keluarga. Padahal, Islam telah menetapkan aturan yang sangat jelas dan rinci mengenai hal tersebut melalui hukum faraid. Hal ini disampaikan oleh Dr. Ahmad Bunyan Wahib, M.Ag., M.A., dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam kajian bertajuk “Studi Kasus Pembagian Harta dalam Keluarga (Part 1)” yang diselenggarakan oleh Sakinah Akademi Masjid Kampus UGM, Ahad (2/11).
Dalam pemaparannya, Dr. Bunyan menekankan bahwa faraid adalah sistem keadilan yang sempurna, ditetapkan langsung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, bukan hasil rumusan manusia. Karena itu, setiap muslim semestinya menjadikan ketentuan faraid sebagai pedoman utama dalam pembagian harta peninggalan. Ia menyayangkan masih banyak keluarga muslim yang memilih “pembagian kekeluargaan” atau kesepakatan pribadi tanpa merujuk pada prinsip syariah yang sebenarnya.“Ketika manusia mencoba mengganti hukum Allah dengan kesepakatan yang mereka anggap adil, justru di situlah sumber ketidakadilan muncul,” tegas Dr. Bunyan.
Faraid sebagai Sistem Keadilan yang Terukur
Menurutnya, faraid merupakan salah satu bukti kejelasan dan ketelitian hukum Islam dalam mengatur kehidupan sosial. Dalam sistem ini, setiap ahli waris memiliki hak yang telah ditentukan secara proporsional sesuai kedudukannya. Tidak ada ruang untuk manipulasi atau dominasi pihak tertentu. “Keadilan dalam faraid bukan berarti semua mendapatkan bagian yang sama, tetapi semua mendapatkan hak sesuai dengan tanggung jawab dan posisi mereka di dalam keluarga,” jelasnya.
Bunyan juga menegaskan bahwa persoalan warisan bukan hanya tentang harta, tetapi tentang penegakan keadilan dan penghormatan terhadap ketentuan Allah Swt. Ia mengingatkan bahwa hukum faraid tidak bisa dinegosiasikan karena termasuk bagian dari hukum yang qath’i, yakni bersumber langsung dari nash yang pasti. “Faraid adalah hukum Allah yang tidak boleh diubah atau dinegosiasikan. Siapa yang beriman kepada Allah, maka ia harus tunduk pada hukum-Nya, termasuk dalam urusan warisan,” ujarnya.
Kesadaran dan Kepatuhan Syariah
Dalam beberapa contoh kasus yang diangkat, Bunyan menunjukkan bagaimana ketidakpahaman terhadap faraid sering berujung pada pertikaian antar saudara. Ia menilai, akar masalahnya bukan hanya ketidaktahuan, tetapi juga kurangnya kesadaran untuk menegakkan hukum syariah secara konsisten.
Karenanya, ia mendorong umat Islam untuk mempelajari kembali hukum faraid, baik melalui lembaga pendidikan maupun pengajian di masyarakat. Pemahaman ini penting agar keluarga muslim dapat menghindari praktik yang keliru, seperti pembagian sepihak, hibah terselubung, atau penundaan pembagian tanpa alasan syar’i.
“Kalau hukum faraid dipahami dan dilaksanakan dengan benar, maka tidak akan ada warisan yang menimbulkan permusuhan. Yang ada justru keberkahan dan ketenangan,” tutur Bunyan.
Warisan sebagai Amanah, Bukan Sumber Sengketa
Menutup pemaparannya, Bunyan mengajak jemaah untuk melihat warisan bukan sebagai milik pribadi, tetapi sebagai amanah yang harus disalurkan sesuai ketentuan Allah SWT. Ia menegaskan bahwa faraid bukan sekadar aturan matematis, melainkan wujud nyata dari prinsip tauhid — pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak menetapkan ukuran keadilan. “Faraid adalah bentuk keadilan ilahi di dunia. Dengan melaksanakannya, kita bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga menjaga kehormatan keluarga dan keimanan,” pungkasnya.