Sakinah Akademy Masjid Kampus UGM melanjutkan seri kajian finansial keluarga dengan tajuk “Hukum Waris dalam Islam: Memahami Dasar Legalitas dan Syarat Sah Terjadinya Waris” pada Senin (18/8/2025). Melanjutkan paparan sebelumnya, kembali hadir Dr. Ahmad Bunyan Wahib, M.Ag., M.A., dosen Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau memaparkan pentingnya memahami hukum waris Islam tidak hanya sebagai aturan teknis, tetapi juga sebagai bagian integral dari keadilan keluarga.
Ahmad Bunyan menjelaskan bahwa hukum waris adalah bagian dari syariat Islam yang detail dan menyeluruh. Dasarnya berasal dari Al-Qur’an, Hadis, dan ijma’ ulama, yang mengatur siapa saja yang berhak menerima harta warisan serta bagaimana pembagiannya.
“Ilmu waris dalam Islam sangat khas karena detail, adil, dan menjaga tanggung jawab kekeluargaan. Namun sayangnya, dalam praktiknya sering terabaikan, kalah oleh adat atau hukum positif,” ungkapnya.
Dalam penjelasannya, Ahmad Bunyan menekankan pentingnya memahami legalitas hukum waris. Di Indonesia, selain berpegang pada Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11–12 dan 176, umat Islam juga merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua pasal 171–214. KHI menjadi rujukan penting karena mengatur hal-hal yang tidak dibahas detail dalam fikih klasik, misalnya soal anak angkat atau ahli waris pengganti. “KHI memberi payung hukum agar hukum waris bisa dijalankan secara adil di masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Baca juga: Zainal Arifin Mochtar Soroti Paradoksal Negara: Klaim Menyejahterakan, Nyatanya Malah Menyengsarakan
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa harta warisan atau tirkah tidak hanya berupa benda, tetapi juga hak. Contohnya adalah hak syuf‘ah, yaitu hak prioritas membeli aset yang dijual oleh tetangga atau kerabat. Hal ini ditegaskan dalam KHI pasal 171D. Namun sebelum harta dibagikan, ada kewajiban yang harus ditunaikan, yaitu biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat yang maksimal sepertiga dari total harta.
“Prinsipnya, hak Allah dan hak manusia harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum warisan dibagi,” tegas Ahmad Bunyan.
Selanjutnya, ia juga membedakan dua jenis wasiat dalam Islam. Pertama, wasiat wajibah, yaitu wasiat yang tetap berlaku meski pewaris tidak pernah berwasiat. Di Indonesia, wasiat wajibah umumnya ditujukan kepada anak angkat atau orang tua angkat sebagaimana diatur dalam KHI pasal 209. Kedua, wasiat ikhtiariyah, yaitu wasiat sukarela yang dibuat pewaris semasa hidupnya. Ia membandingkan praktik di Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah, di mana wasiat wajibah lebih banyak diberikan kepada cucu yatim yang terhalang hak warisnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan mengenai hutang. Ulama berbeda pandangan mengenai hal ini. Mazhab Hanafi berpendapat hutang kepada Allah gugur dengan kematian, Mazhab Maliki menekankan hutang kepada manusia harus diprioritaskan, sementara Mazhab Syafi’i berpendapat hutang kepada Allah tetap wajib ditunaikan. Ia menegaskan bahwa penyelesaian hutang menjadi penting agar warisan benar-benar sah dibagikan. Ia menegaskan, penyelesaian hutang ini penting agar warisan benar-benar sah dibagikan.
Ahmad Bunyan juga mengingatkan bahwa banyak konflik keluarga bermula dari ketidaktahuan soal hukum waris. “Jika hukum waris tidak dipahami sesuai syariat, potensi konflik keluarga semakin besar. Padahal waris bukan hanya soal harta, tapi juga amanah moral, sosial, dan spiritual,” tuturnya. ( Indra Oktafian Hidayat / Foto: YouTube Masjid Kampus UGM)
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=sZtP91Nyg24[/embedyt]