Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc., Ph.D., menyampaikan kajian bertajuk “Strategi Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan di Kawasan Timur Indonesia” dalam Ramadan Public Lecture (RPL) yang diselenggarakan pada Jumat, 21 Maret 2025. Dalam kajian ini, beliau memaparkan refleksi tentang ketimpangan dan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia serta strategi yang dapat diupayakan untuk mengatasinya.
Hendrie memulai pembahasannya dengan mendefinisikan kesejahteraan sebagai kondisi di mana kebutuhan material, spiritual, dan sosial individu terpenuhi sehingga mereka dapat hidup layak dan mengembangkan diri. Beliau menekankan bahwa kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan dimensi finansial, tetapi juga mencakup aspek lain seperti kecemasan, kesehatan yang buruk, dan isolasi sosial.
“Oleh karena itu, apabila dicermati daftar 10 negara dengan penduduk berpenghasilan tinggi berbeda dengan daftar 10 negara yang diurutkan berdasarkan kesejahteraan atau kebahagiaan. Jadi, dalam hal ini punya uang tidak menjamin seseorang kaya dalam aspek yang lain,” jelas Hendrie.
Beliau menjelaskan tiga faktor utama yang mempengaruhi kemiskinan: faktor individu (atribut personal), faktor struktural (kondisi di luar individu), dan faktor transendental (takdir atau ketetapan Allah SWT). “Tiga area tadi menjadi sangat penting ketika kita ingin mencoba menemukan alternatif solusi atau merumuskan strategi,” ujarnya.
Hendrie juga menyoroti enam aset penentu kemampuan seseorang untuk keluar dari kemiskinan, yaitu aset manusia, sosial, sumber daya alam, fisik, finansial, dan budaya. Beliau menegaskan bahwa keenam aset ini sangat penting dalam melihat kondisi berbagai wilayah, termasuk Kawasan Timur Indonesia. Meskipun kawasan ini kaya akan sumber daya alam, infrastruktur dan keterampilan penduduknya masih perlu ditingkatkan.
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Hendrie adalah memanfaatkan sektor pariwisata sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan. Beliau mengkritik pandangan yang hanya melihat pariwisata sebagai alat untuk mencari uang. “Padahal, berwisata juga merupakan persoalan melengkapi kemanusiaan,” tegasnya. Beliau juga menghubungkan secara konteksual antara pariwisata dengan narasi agama, seperti perintah hijrah dan iqra’.
“Dalam konteks itulah Indonesia Timur itu kaya sekali. Kalau kita bisa mendorong lebih banyak orang untuk berwisata dalam kerangka melengkapi kemanusiaan dan membaca konteks, maka sangat mungkin kehadiran kita di lokasi yang punya kekayaan alam itu mampu mendistribusikan dan meredistribusikan resources, misalnya dari barat ke timur, dan sebagainya,” pungkas Hendrie. (Aufa Kayla Azzahra/Editor: Ismail Abdulmaajid/Foto: Ramadhan Di Kampus UGM)