Komisioner Komisi Yudisial RI, Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum, menyampaikan ceramah Tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H, di Masjid Kampus UGM, Kamis (22/03). Dalam ceramahnya, ia berbicara mengenai masalah keputusan hakim yang cukup kontroversial, mulai dari putusan memberikan diskon hukuman bagi para koruptor sampai putusan batas minimal umur capres oleh Mahkamah Konstitusi. Berkaca dari permasalahan tersebut, Prof Mukti mengajak jemaah untuk merenung.
“Masihkah lembaga peradilan yang agung itu dapat kita percaya?,” tanyanya dalam ceramah yang bertajuk “Penguatan Lembaga Peradilan: Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum yang Lebih Baik” itu.
Menurut Prof. Mukti, jawaban dari pertanyaan tersebut terletak pada aktor lembaga peradilan, yaitu hakim. Oleh karena itu, ia menekankan perlukan berbagai upaya normatif untuk menjaga marwah dan martabat hakim agung; seperti mengawasi kinerja, melakukan advokasi, memberikan peningkatan advokasi, dan meningkatkan layanan informasi hubungan kelembagaan. Namun upaya tersebut dinilainya tidak menyelesaikan masalah yang paling mendasar, yaitu persoalan mengenai kekuasaan kehakiman.
“Seorang hakim itu secara teori harus merdeka, dia harus bebas dari intervensi apa pun dan independen dalam memutus perkara yang disidangkan. Sehingga muncul acces rex judicata dimana putusan hakim itu berlaku absolut, ketika sudah diputus maka itulah yang menjadi hukum yang berlaku,” kata Prof. Mukti.
Namun, Prof. Mukti melanjutkan, putusan hakim yang absolut memunculkan masalah baru, di mana terdapat “ruang gelap” yang menjadi tempat permainan kotor, sehingga putusan yang dikeluarkan tidak wajar. Hal ini menimbulkan rasa tidak nyaman dan pupusnya harapan dari rasa keadilan masyarakat.
“Ketika ada putusan yang mencurigakan, maka ketika hakimnya diperiksa ternyata memang benar hakim tersebut menerima siap dan akhirnya hakimnya dihukum, sedangkan koruptornya bebas karena keputusannya sudah berlaku,” ujarnya.
Menurutnya, keputusan hakim hanya bisa dieliminasi oleh keputusan hakim selanjutnya. Walaupun ketika putusan tersebut ada di tingkat kasasi dapat dilakukan PK (Peninjauan Kembali), jika tidak ada novum atau bukti baru maka hakimnya tetap terbukti bersalah. Ia menambahkan bahwa sistem tersebut juga berlaku pada Mahkamah Konstitusi, di mana keputusan yang dikeluarkannya bersifat final dan mengikat, tidak melalui pengadilan negeri terlebih dahulu lalu bertingkat sampai pada tingkat kasasi.
Oleh karena itu, Prof. Mukti mengajak para mahasiswa, dosen, dan hakim untuk membuat suatu terobosan yang tidak hanya mencakup asas legalitas dan kepastian hukum saja. Menurutnya, hal yang lebih penting diperlukan adalah asas keadilan. Ketika hakim terbukti dalam proses pengambilan keputusan melanggar hukum, atau melanggar etika, maka harus ada keberanian untuk melakukan pengadilan ulang kasus tersebut.
“Namun pendapat saya masih dibantah, dan saya coba untuk perjuangkan karena ada asas solid populi suprema lex, artinya hukum tertinggi adalah keselamatan dan keadilan. Artinya hukum atau aturan yang ada bisa diterobos jika memang dianggap membahayakan atau tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat,” katanya.
Menurutnya, hakim harus mempunyai dua syarat agar pantas menerima kekuasaan kehakiman. Syarat tersebut ialah kecerdasan yang mempunyai landasan moral dan kesadaran terhadap satu-satunya kekuatan yang ditakuti, yakni kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa. (Muhammad Rizal Effendi/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)