Islam menetapkan dua prinsip dasar yang menjadi kaidah kegiatan ekonomi. Dalam ceramah Ramadan Public Lecture 1444 H di Masjid Kampus UGM Jumat (7/4), dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D. menyebut bahwa prinsip pertama ialah maslahat.
Maslahat sendiri berupa perbuatan atau benda yang berguna untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik. “Semua hal dalam kegiatan ekonomi, produksi harus mengandung maslahat,” terangnya. Prinsip ini berkelindan dengan prinsip kedua, yaitu al-adl, yang artinya seimbang.
Arti seimbang dalam konteks ekonomi berkeadilan berhubungan dengan peraturan atau hukum perekonomian negara. Menurut Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Sleman itu, hak-hak semua orang harus terakomodasi dalam aturan tersebut tanpa memandang suku, agama, dan perbedaan lainnya. Kedua prinsip tersebut tak lain bertujuan untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan.
Ada tiga ciri ekonomi berkeadilan: pertama, setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kesempatan tersebut merupakan hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, memahami bahwa tidak semua orang memperoleh hasil yang sama dikarenakan perbedaan kemampuan. Akbar mencontohkan fakir miskin dan orangtua renta. “Kita tidak serta merta mengatakan, ‘Kamu harus bekerja!’,” ujarnya, “oleh karena itu kita harus membantu mereka dan memberikan mereka kesempatan agar bisa memperbaiki hidup”.
Ciri ketiga, tidak boleh ada kezaliman di kegiatan ekonomi. Salah satu bentuk kezaliman yang dilarang Islam adalah eksploitasi antarsesama, seperti eksploitasi orang kaya kepada yang miskin. “Dalam Islam ada larangan untuk merampas hak orang lain, perniagaan zalim, tidak jujur dan tidak amanah. Tujuannya adalah untuk keadilan,” paparnya.
Keadilan dalam Kebijakan Kendaraan Listrik
Tiga ciri tersebut, menurutnya, menjadi ukuran terwujudnya ekonomi berkeadilan. Akan tetapi, ia menyadari sulitnya mewujudkan ekonomi berkeadilan. Belum sampai tataran implementasi, pemahaman adil pun menurutnya, berbeda satu dengan yang lain. “Bagaimana bentuk keadilan? Keadilan seperti ruang abu-abu,” ujarnya.
Akbar mengaitkan isu ini dengan kebijakan pemerintah tentang peralihan kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik. Pemerintah memberikan subsidi harga untuk kendaraan listrik. Namun, muncul persoalan ketika harga mobil dan motor listrik yang tinggi dan tidak dapat dibeli oleh seluruh kalangan.
Ia mencontohkan, mobil listrik merek Hyundai Ioniq termurah harganya Rp748.000.000,00 dan setelah disubsidi harganya berubah menjadi Rp668.000.000,00. Sedangkan mobil listrik yang lebih murah, yakni Wuling Air EV yang aslinya seharga Rp243.000.000,00, berubah menjadi Rp208.000.000,00. Begitu pun dengan sepeda motor, harganya berada di kisaran Rp20 juta ke atas, meskipun beberapa ada sepeda motor dengan harga di bawahnya.
“Siapa yang bisa beli? Orang miskin, orang yang enggak punya motor tidak mampu membeli. Artinya pemerintah memberikan subsidi kepada orang kaya. Padahal secara keadilan, subsidi harusnya diberikan kepada orang miskin,” papar Akbar.
Di akhir ceramah, ia menegaskan bahwa mencapai ekonomi berkeadilan itu tidaklah mudah. “Tetapi kita harus tetap berusaha dan berdoa kepada Allah,” pungkasnya. (Musyarrafah Mudzhar/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Arya Hudia, Fadhila Shafa)