Guru besar kajian jurnalisme Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM Prof. Dr. Ana Nadhya Abrar memberi ceramah Ramadan Public Lecture di Masjid Kampus UGM, Jumat (24/3). Dalam ceramah bertajuk ”Strategi Menafsir Komunikasi Politik: Mewujudkan Pemilih Cerdas Bermartabat” membacakan secara verbatim laporan media massa tentang isu politik terkini dan menganalisisnya.
Sebagai contoh, pada 19 Maret 2023 lalu, Tempo.co menerbitkan laporan utama berjudul “Makcomblang di Pematang Sawah”. Laporan tersebut secara garis besar berisi sikap Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang menunjukkan sinyal dukungan kepada Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo untuk maju sebagai calon presiden (capres) di pemilihan umum (pemilu) mendatang. Tak hanya itu, seperti dibacakan Prof. Abrar, pada 15 Maret 2023, Sandiaga Uno menemui Jokowi di Istana Negara dan Jokowi memberi dukungan padanya untuk menjadi capres. Dukungan itu punya tujuan khusus “mengalahkan Anies Baswedan”, dan dinilai merupakan opsi kedua Jokowi jika tidak berhasil memperpanjang masa jabatannya.
“Semua informasi yang termuat… menyiratkan satu hal penting, yaitu budaya politik kita belum kompatibel dengan demokrasi karena masih mengikuti tradisi Jawa,” terangnya. Tradisi politik ala Jawa, menurutnya, ibarat piramida di mana orang-orang yang ingin terjun ke politik berlomba-lomba mendekati puncak piramida untuk mendapat izin dari pusat kekuasaan. Padahal sudah ada partai politik yang seharusnya menjadi kendaraan para tokoh untuk maju sebagai capres. Bahkan beliau menyebut fenomena ini “lucu” karena di antara tokoh yang berlomba tersebut merupakan ketua partai politik.
Prof. Abrar juga membacakan dua berita lain dari Kompas.com dan Detik.com tentang pengesahan Perppu Cipta Kerja oleh DPR yang menimbulkan reaksi keras banyak kalangan. Dari berita-berita Kompas.com berjudul “DPR Sahkan Perppu Cipta Kerja Jadi UU, Demokrat Interupsi, PKS “Walkout””, Prof Abrar menilai DPR egois karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi secara tegas memutuskan UU Cipta Kerja cacat secara formil, bertentangan dengan UUD 1945, dan inskonstitusional bersyarat. “DPR seperti stempel kebijakan pemerintah,” jelas Prof Abrar.
Hal itu juga tercermin dalam berita terbitan Detik.com (23/3) tentang jawaban BEM UI pada Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini, setelah kritik organisasi tersebut terhadap DPR karena mengesahkan UU Cipta Kerja, disebut Faldo mirip LSM yang didanai asing dan ditunggangi kelompok antipemerintah. Kenyataan tersebut, menurut Prof. Abrar, mematikan nilai saling cek dan keseimbangan (checks and balances) antara pemerintah dan DPR.
6 Cara Menjadi Pemilih Bermartabat
Prof. Abrar menyebut ketiga berita tersebut merupakan bentuk komunikasi politik yang disampaikan media terhadap khalayak tentang pemerintah dan DPR. Melihat keadaan tersebut, beliau mengajak masyarakat untuk menjadi pemilih yang bermartabat menjelang Pemilu 2024 dengan enam cara. “Lantaran lingkungan politik kita sekarang tidak sehat, jadi kalau tidak sehat kita harus lawan dengan cara yang sehat,” pungkas Prof Abrar.
Pertama, seseorang harus terlebih dahulu mengamati perilaku calon (yaitu peserta pemilu dan calon presiden). Kedua, memahami jalan pikiran calon presiden dengan melihat rencana atau janji politik. Ketiga, menulis profil singkat tentang calon presiden yang akan dipilih supaya dapat memahami sosoknya.
Kemudian, masyarakat diharap tidak melakukan kekerasan terhadap sesama sekecil apapun bentuknya serta tidak terjebak dalam informasi yang membingungkan dan mengkerdilkan calon tertentu. Terakhir, ia harus memperluas jaringan untuk memperoleh informasi yang kredibel. (Musyarrafah Mudzhar/Editor: Rama S. Pratama, Foto: Dwi Adhe Nugraha, Muhammad Iqbal Zaky Hussaini)