Khatib: Dr. Eng. H. Rinto Anugraha NQZ., S.Si., M.Si. (Dosen Departemen Fisika UGM)
Jamaah shalat gerhana matahari yang dirahmati Allah SWT
Alhamdulillah pada siang hari ini kita selalu mendapatkan segala kenikmatan yang tidak bisa kita hitung-hitung jumlahnya. Salah satunya adalah kenikmatan untuk dapat melaksanakan shalat sunnah gerhana matahari di masjid kampus UGM yang berkah ini. Tema khutbah shalat gerhana matahari kali ini adalah “Gerhana Matahari sebagai Pelajaran Ketundukan Manusia kepada Al-Khaliq dan Kecintaan kepada Sains”.
Dahulu pada masa Rasulullah SAW pernah terjadi gerhana matahari yang kebetulan bertepatan dengan wafatnya putra Rasulullah SAW yang bernama Ibrahim. Dalam
hadits riwayat al-Bukhari dikisahkan:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad ia berkata, telah menceritakan kepada kami Hasyim bin al-Qasim ia berkata, telah menceritakan kepada kami Syaiban Abu Mu’awiyah, dari Ziyad bin ‘Ilaqah, dari al-Mughirah Ibn Syu‘bah r.a. ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW pada hati meninggalnya Ibrahim putra Rasulullah SAW. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana itu karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat gerhana tersebut, maka kerjakan salat dan berdoalah kepada Allah [HR al-Bukhari no 1043].
Rasulullah SAW menyatakan bahwa fenomena gerhana terjadi bukanlah karena kaitannya dengan kehidupan seseorang. Di dalam Al Quran surat Fusshilat ayat 37
Disebutkan:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Dialah yang kamu hendak sembah.
Kita ummat Islam yang melaksanakan shalat gerhana matahari, pada hakikatnya bukan menyembah matahari tetapi menyembah Allah SWT yang telah membuat fenomena gerhana matahari dapat terjadi. Kita menyembah Allah SWT yang juga berfirman dalam surat al-Rahman ayat 5:
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
Allah SWT sendiri yang memberikan garansi bahwa pergerakan matahari dan bulan itu berdasarkan perhitungan, artinya bisa dihitung dan dipelajari. Orang kemudian mempelajari, bahwa pergerakan matahari, bulan, planet-planet dan benda-benda langit disebabkan oleh gaya gravitasi. Orang kemudian tahu, bumi mengitari matahari dan kembali ke posisi semula setelah sekitar 365 ¼ hari. Orang juga mengetahui bulan mengitari bumi dalam satu bulan sinodik yaitu rata-rata sekitar 29 hari 12 jam 44 menit. Periode inilah yang kemudian digunakan dalam kalender Islam dimana satu bulan Islam berisi 29 atau 30 hari.
Lebih lanjut, dengan kemajuan ilmu astronomi khususnya, orang dapat mengetahui posisi matahari dan bulan dimana saja dan kapan saja. Algoritma paling modern untuk mengetahui posisi matahari dan bulan adalah VSOP dan ELP yang dikemukakan oleh ilmuwan Perancis. Dari gabungan keduanya, orang dapat mengetahui kapankah matahari, bulan dan bumi berada pada suatu garis lurus sehingga ketika gerhana matahari, serta kapankah matahari, bumi dan bulan berada pada suatu garis lurus sehingga ketika gerhana bulan.
Sekitar tiga tahun yang lalu, tepatnya pada hari Rabu tanggal 9 Maret 2016 terjadi gerhana matahari total yang melewati wilayah Indonesia. Gerhana tersebut telah terjadi dan sesuai dengan prediksi dan perhitungan. Demikian juga pada hari ini Kamis 26 Desember 2019 terjadi gerhana matahari cincin yang juga melewati wilayah Indonesia. Alhamdulillah terbukti dan kita disini hadir menunaikan sholat gerhana sebagai bukti ketundukan kita kepada Allah SWT.
Jamaah yang berbahagia,
Peristiwa gerhana matahari juga sekaligus menjadi sarana integrasi ilmu pengetahuan dan agama. Sains dapat menjadi media bagi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Al-Khaliq. Saya akan mengambil contoh pada beberapa bidang astronomi Islam yang sering disebut sebagai ilmu falak.
Sejak dahulu, para ilmuwan muslim telah memberikan perhatian yang besar kepada ilmu falak, karena menyadari peran besarnya dalam menunaikan ibadah, khususnya sholat, puasa dan haji. Dalam bab sholat, ilmu falak berkaitan dengan penentuan arak kiblat, penentuan awal waktu sholat fardhu serta menentukan kapan waktu sholat gerhana. Dalam bab puasa, ilmu falak berkaitan dengan penentuan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal serta bulan-bulan Islam lainnya, sebab ada ibadah puasa sunnah ayyamul bidh tanggal 13, 14 dan 15 dimana kita harus menentukan terlebih dahulu kapan tanggal 1 pada suatu bulan Islam. Dalam bab haji dan Iedul Adha, kita perlu menentukan kapan tanggal 1 Dzulhijjah sehingga kemudian bisa ditentukan tanggal 9 dan 10. Bagian kedua topik khutbah ini adalah kecintaan kepada sains. Tidak dipungkiri bahwa untuk dapat menentukan kapan terjadinya gerhana matahari dan bulan, orang harus belajar dan mencintai sains. Apalagi Allah SWT sangat memberikan apresiasi kepada orang yang belajar. niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang- orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Ayat yang pertama turun adalah “Iqra” yang berarti bacalah. Oleh karena itu ummat Islam haruslah menjadi ummat yang pandai dalam sains dan teknologi. Sayang sekali, di masa sekarang dengan kemajuan sains dan teknologi, justru agaknya tumbuh subur salah satu teori sains yang disebut teori bumi datar (flat earth). Teori bumi datar ini sesungguhnya dari sejarahnya berasal dari teori yang dikemukakan oleh penganut agama lain non-Islam, namun entah kenapa justru di Indonesia penggemarnya agak banyak juga. Maka pada kesempatan ini, saya ingin sedikit memberikan pencerahan kepada jamaah sekalian yang mungkin masih bertanya-tanya apakah bumi itu datar atau bulat atau malah segitiga.
Apakah bumi itu datar, bulat atau berbentuk titik, bergantung dari referensi dan skala memandangnya. Jika kita berbicara hanya pada skala lokal di sekitar kita saja, tentu saja bumi terlihat seperti datar. Dengan bumi yang nampak datar pada skala lokal inilah, bumi Allah sebutkan sebagai tempat yang dihamparkan. Bumi secara fungsional sebagai tempat yang nyaman untuk kita diami, sebagai media untuk hidup dengan tujuan utama untuk beribadah kepada Allah. Seandainya bumi ini secara lokal berbentuk tidak karu-karuan, banyak sekali berjejeran gunung yang menjulang tinggi dan di sekitar ada jurang yang sangat dalam, tentunya manusia tidak akan nyaman tinggal di tempat seperti itu. Dengan tinggal di permukaan bumi yang secara lokal relatif terlihat datar, maka Allah menghamparkan bumi sebagai tempat tinggal kita.
Namun gambaran lokal ini belumlah cukup untuk mendeskripsikan bumi secara utuh. Ini ibarat seperti beberapa orang buta yang mencoba mendeskripsikan binatang gajah. Jika si A hanya memegang telinganya saja, ia akan berkesimpulan gajah itu berbentuk daun yang lebar dan pipih. Jika si B hanya memegang
gadingnya saja, ia akan mengatakan gajah itu runcing dan keras. Jika si C memegang ekornya saja, maka gajah dikatakan mirip seperti ular. Tentu saja gambaran lokal gajah seperti itu tidak akan tepat mendeskripsikan gajah secara utuh.
Demikian juga dengan bumi, jika melihat pada skala yang lebih jauh dan lebih global, sains akan menyatakan bumi berbentuk bulat mirip seperti bola dengan jari- jari sekitar 6400 km. Dikatakan bulat sesungguhnya juga masih kurang tepat, karena bentuk yang lebih tepat untuk dikatakan adalah ellipsioda atau oblate spheroid.
Kesalahan fundamental teori bumi datar adalah menganggap bumi pada skala besar atau global juga berbentuk datar seperti piring. Bumi datar menganggap kutub utara berada di tengah piring, dan kutub selatan atau benua antartika berada di pinggiran piring, menjaga agar air laut tidak tumpah keluar dari piring bumi. Akibatnya akan muncul kerancuan, ketidakmasukakalan, kontradiktif dengan berbagai fenomena alam.
Sungguh ironi jika misalnya ada mahasiswa, dosen atau kalangan terpelajar yang masih mempercayai teori bumi datar. Itu artinya mereka sama sekali tidak menghargai ilmu dan departemen yang obyek utamanya adalah bumi atau geo. Di UGM kita punya program studi fisika dan geofisika, departemen teknik geodesi, departemen teknik geologi, fakultas geografi dan sebagainya. Adapula program studi astronomi di ITB dan di tempat lainnya. Tanpa disadari teori bumi datar adalah penghinaan dan pelecehan terhadap nalar akademik dan institusi keilmuan.
Juga tanpa disadari teori bumi datar adalah ketidakpercayaan kepada ahli-ahli falak dari berbagai lembaga Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, ada Kementrian Agama yang di dalamnya terdapat Badan yang mengurusi hisab dan rukyat. Di ormas NU terdapat lajnah falakiyah baik di tingkat pusat maupun daerah. Di Muhammadiyah juga terdapat Majlis Tarjih dan Tajdid yang salah satu tugasnya adalah memberikan informasi berkaitan ilmu falak. Di Persatuan Islam (Persis) juga terdapat Dewan Hisab dan Rukyat. Demikian pula ormas-ormas dan lembaga-lembaga lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Semua ormas Islam itu jelas sekali percaya terhadap sains yang berlaku standar saat ini dan menggunakannya sebagai alat bantu untuk kepentingan ibadah. Semua ahli falak mengetahui bahwa bumi bulat, dengan posisi di bumi dinyatakan dalam koordinat lintang dan bujur geografis. Tidak ada satupun ahli falak Islam, kyai falak dan cendekiawan yang percaya dengan teori bumi datar. Sebab bumi datar, selain teori yang salah tentang gambaran bumi secara utuh, juga tidak akan bisa dipakai untuk menghitung fenomena alam sehari-hari.
Para ahli falak bisa dengan mudah menghitung jadwal waktu sholat sehari-hari kapan saja dan untuk wilayah mana saja, seperti yang kita bisa saksikan misalnya pada jam digital di masjid-masjid, atau di berbagai aplikasi android. Parameter untuk menghitung waktu sholat diantaranya adalah koordinat di bumi yang berbentuk bulat, serta sudut deklinasi matahari atau sudut matahari dari garis khatulistiwa. Jika yang digunakan adalah bumi datar, hasilnya akan kacau sekali dan sangat tidak cocok dengan observasi terhadap posisi matahari.
Bahkan, sederhananya saja penganut bumi datar saja tidak bisa menentukan waktu kapan matahari terbenam dengan benar sebagai awal waktu sholat maghrib. Sebab dalam teori mereka matahari dan bulan selalu bergerak dan berputar di atas permukaan bumi. Lalu juga bagaimana akan bisa menjelaskan misalnya perbedaan waktu sholat subuh hari ini di Jogja dan Semarang yang garis bujurnya praktis sama.
Para ahli falak bisa menghitung dengan mudah posisi dan ketinggian bulan sabit ketika akan dilihat menjelang awal puasa. Semua data-data itu disajikan secara numerik dan kuantitatif. Dari sinilah kemudian ada kalangan yang merukyat dan ada yang menghisab, dan hasilnya cocok dengan pengamatan. Jika tidak terlihat maka itu karena ada awan yang menghalangi tetapi itu bukan poin utama disini. Poinnya adalah bagaimana penganut teori bumi datar akan bisa menjelaskan bentuk bulan sabit dengan ketinggian sekian derajat dari Aceh namun ketinggiannya negatif di Papua ketika mereka tidak bisa mengetahui secara presisi posisi matahari dan bulan saat itu.
Termasuk juga ketika kita berkumpul disini dan percaya bahwa hari ini akan ada gerhana matahari di Yogyakarta yang fase awal parsial dimulai pukul 10:56 WIB,
puncak gerhana 12:48 WIB dan fase akhir parsial 14:29 WIB, secara tidak langsung sesungguhnya merupakan hasil kepercayaan kita kepada teori sains yang standar tentang gerak matahari, bulan dan bumi, serta bentuk bumi. Sebab teori bumi datar jelas tidak akan mampu menghitung detil terjadi gerhana parsial di Yogyakarta dan gerhana cincin di Batam.
Sains sudah berkembang sedemikian maju sehingga sejumlah teori sains menjadi standar dan dipakai oleh semua orang. Sains standar kemudian dapat digunakan untuk memprediksi fenomena alam secara global, salah satunya adalah gerhana matahari. Kalau dalam terminologi agama ada istilah sesuatu yang mutawatir seperti Al Quran yang diriwayatkan secara mutawatir atau hadits shahih secara mutawatir, artinya diriwayatkan oleh banyak sekali orang dan dari berbagai generasi sehingga mereka secara logika dan adat tidak mungkin untuk semuanya sepakat berdusta. Demikian pula dengan sains standar ini bisa dipahami oleh banyak orang dan digunakan untuk memprediksi suatu fenomena alam oleh siapa saja dengan hasil yang sesuai dimana mereka juga secara akal tidak mungkin untuk sepakat berdusta atau berkonspirasi.
Gerhana matahari sebagai sebuah fenomena sains yang rutin berulang dan bersifat periodik memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya kita belajar dan mencintai ilmu pengetahuan. Janganlah karena misalnya sekarang sains didominasi oleh Barat kemudian membuat kita antipati dan menganggap semua sains adalah hasil konspirasi. Ini tentu sebuah kebodohan. Jika sains Barat sekarang terlihat lebih dominan, itu sesungguhnya bagian dari pergiliran sejarah, dimana beberapa abad silam justru sains di dunia Islamlah yang dominan dan Barat banyak menerjemahkan karya-karya ilmuwan Islam. Jangan kemudian kita justru menarik diri dari belajar sains dan hanya puas dengan belajar agama saja.
Umat Islam harus menjadi ummat terdepan. Dua-duanya dikuasai dengan baik. Kita tentu bagus dalam ilmu agama dan juga bagus dalam ilmu pengetahuan modern.
Dengan kita belajar dan memperhatikan fenomena alam seperti pergantian malam dan siang, kita akan diingatkan bahwa semua yang Allah SWT ciptakan itu tidak sia- sia.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Apa konsekuensi lanjutan saat kita mengimani, menyucikan, serta mengagungkan Allah? Tidak lain adalah berintrospeksi betapa lemah dan rendah diri ini di hadapan Allah. Artinya, meningkatnya pengagungan kepada Allah berbanding lurus dengan menurunnya sikap takabur, angkuh atas kelebihan-kelebihan diri, termasuk bila itu prestasi ibadah. Yang diingat adalah ketakberdayaan diri, sehingga memunculkan
sikap merasa bersalah dan bergairah untuk memperbanyak istighfar.
“Sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Jangan kalian bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan, tetapi bersujudlah kalian kepada Allah yang menciptakan semua itu, jika kamu hanya menyembah-Nya,” (QS Fushilat [41]: 37).
Dalam tataran praktis, ada yang memaknai perintah sujud pada ayat tersebut sebagai perintah untuk melaksanakan shalat gerhana sebagaimana yang kita lakukan pada malam hari ini. Momen gerhana matahari juga menjadi wahana tepat untuk memperbanyak permohonan ampun, tobat, kembali kepada Allah sebagai muasal dan muara segala keberadaan.
Semoga fenomena gerhana matahari kali ini meningkatkan kedekatan kita kepada Allah SWT, membesarkan hati kita untuk ikhlas menolong sesama, serta menjaga kita untuk selalu ramah terhadap alam sekitar kita. Wallahu a’lam.