
Pada Minggu, 9 Maret 2025, Mimbar Subuh di Masjid Kampus UGM mengangkat tema “Refleksi Spiritual dan Ekologis: Menuju Transformasi Diri dan Lingkungan”. Kajian ini diisi oleh Ketua Takmir Masjid Mardliyah Islamic Center UGM, Dr. Drs. Senawi, M.P., yang memaparkan pentingnya keseimbangan antara spiritualitas dan kepedulian ekologis dalam menciptakan kehidupan yang harmonis dan berkelanjutan.
Senawi membuka kajian dengan menekankan bahwa kesadaran spiritual dan kepedulian ekologis memiliki hubungan timbal balik yang erat. “Kesadaran spiritual tanpa kepedulian ekologis hanya dapat fokus ke batin tanpa tindakan, dan sebaliknya, kepedulian ekologis tanpa nilai spiritual dapat membuat usaha pelestarian alam kehilangan makna yang lebih dalam,” ujarnya. Oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya keseimbangan antara kedua aspek tersebut.
Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, mulai dari wilayah kepulauan yang luas, keindahan panorama, gas alam cair 35% dunia, minyak bumi 85% se-ASEAN, garis pantai 81 ribu meter persegi, lautan 5 juta kilometer persegi, serta keanekaragaman flora dan fauna, menjadi anugerah besar dari Allah SWT. Dr. Drs. Senawi mengajak audiens untuk melakukan introspeksi diri: “Lantas, tugas kami sebagai umat manusia apa?”
Beliau mengutip Surat Az-Zariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
(Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku).
Senawi menegaskan bahwa tugas pertama manusia adalah mengabdi sebagai hamba Allah SWT. Tugas kedua, sebagaimana tertulis dalam Surat Al-Baqarah ayat 30, adalah menjadi khalifah di bumi. “Muslim sebagai rahmatan lil ‘alamin adalah tugas kedua manusia,” jelasnya.
Beliau kemudian mengajukan pertanyaan reflektif: “Bagaimana supaya kita bisa menjadi abdullah? Bagaimana supaya kita bisa menjadi khalifah? Bagaimana kita sebagai rahmatan lil ‘alamin?” Senawi mengingatkan bahwa Allah SWT telah memberikan garis besar haluan hidup manusia, seperti yang tertuang dalam Surat Al-Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
(Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi. Dan berbuat baiklah kepada orang lain, janganlah membuat kerusakan di muka bumi.)
Senawi kemudian membahas pentingnya menjaga kelestarian hutan sebagai bagian dari ibadah. Beliau menjelaskan bahwa hutan berfungsi sebagai pengatur tata air (hidroorologis). “Air sangat penting karena air adalah kehidupan. Sel sperma bertemu sel telur 98% air, bayi lahir 85% air, dan tubuh orang dewasa 70% air,” ujarnya. Beliau menggambarkan hutan sebagai “busa raksasa” yang menyerap air hujan, mencegah banjir, dan menjaga keseimbangan ekosistem. “Lantas, apa yang terjadi apabila hutan gundul?” tanyanya. Jawabannya adalah banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau.
Lebih lanjut, Senawi menjelaskan manfaat hutan dalam kehidupan, seperti mencegah erosi, membersihkan udara, menyediakan makanan, dan menciptakan lapangan kerja. “Janganlah membuat kerusakan, jaga hutan, manfaatkan secara proporsional, dan jangan eksploitasi berlebihan,” tegasnya.
Beliau juga menyoroti dua faktor penyebab kerusakan lingkungan: faktor alami (seperti gempa dan banjir) dan faktor manusia (seperti eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan). “Apabila sudah terlanjur rusak, sudah susah untuk diperbaiki,” ujarnya. Senawi mengutip Surat Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
(Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.)
Senawi menyampaikan lima alasan mengapa refleksi spiritual penting dalam pelestarian alam. Pertama, kesadaran keterhubungan mengingatkan kita bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan pemilik yang berhak mengeksploitasinya secara semena-mena. Kedua, rasa syukur membantu kita melihat alam sebagai anugerah yang perlu dijaga dan dilestarikan, bukan dieksploitasi untuk kepentingan sesaat. Ketiga, etika dan tanggung jawab menekankan pentingnya konsep amanah dalam Islam, stereotip dalam Kristen, dan karma dalam Hindu-Buddha, yang mengajarkan bahwa setiap tindakan kita terhadap alam memiliki konsekuensi. Keempat, refleksi spiritual membantu mengatasi krisis lingkungan secara holistik, karena krisis ini bukan hanya masalah fisik, tetapi juga terkait dengan nilai dan kesadaran manusia. Terakhir, refleksi spiritual mendorong gaya hidup sederhana dan berkelanjutan, mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari konsumsi berlebihan, melainkan dari hubungan harmonis dengan alam. Dengan memahami hal-hal ini, kita dapat lebih peduli dan bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian alam.
“Insya Allah, dengan mengetahui refleksi spiritual, kita akan lebih memahami bahwa kebahagiaan bukan dari perilaku konsumsi yang berlebihan, tapi dari hubungan harmonis dengan alam,” ujar Senawi. Beliau menegaskan bahwa refleksi spiritual menjadi pendorong kuat bagi individu dan komunitas untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan mengambil tindakan nyata yang berkelanjutan. (Kyla ‘Aisya Malvalena/Editor: Ismail Abdulmaajid/Foto: Ramadhan Di Kampus UGM)