
Tepat pada sepekan berjalannya Ramadan (7/03/2025), Masjid Kampus UGM kembali menghadirkan Ramadan Public Lecture (RPL) dengan mengusung tema “Penyiapan Talenta dan Kebijakan untuk Ketahanan Teknologi Digital”. Pada kesempatan ini, Ajar Edi, selaku Ketua Kagama Artificial Intelligence (Kagama AI) sekaligus Senior Vice President – Head of Government Affairs PT Indosat Tbk., memaparkan kuliah umum terkait perkembangan teknologi saat ini, terutama dengan kehadiran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang tengah menjamur.
Mengawali pemaparannya, Ajar Edi menyampaikan bahwa perkembangan AI merupakan hal yang luar biasa. Beliau menyebutkan bahwa fenomena kemunculan AI ini mengingatkan pada revolusi internet dan dominasi ponsel pintar yang mulai berkembang pesat di Indonesia pada awal tahun 90-an. Diluncurkannya ChatGPT oleh OpenAI membawa transformasi sehingga masyarakat dapat berkomunikasi dengan AI menggunakan bahasa sehari-hari. “Sebenarnya sekarang kita banyak berinteraksi dengan AI, mungkin melalui smartwatch, media sosial, beragam aplikasi itu sudah punya AI-nya,” ujarnya.

Satu hal menarik yang disampaikan Ajar Edi adalah bahwa AI dapat berkembang pesat karena terdapat infrastruktur yang mendukung, seperti cloud computing, jaringan saraf komputer, dan kecepatan pengolahan data. Menurutnya, perkembangan teknologi ini bisa ditarik ke sisi geopolitik yang kemudian dibagi menjadi dua konteks.
Pertama, penyelenggaraan Paris AI Action Summit pada bulan Februari lalu. Pada pertemuan ini, setiap negara merumuskan arah yang akan dituju dalam perkembangan teknologi AI. Ajar Edi menyampaikan bahwa sebanyak 58 negara sepakat dengan komitmen bahwa AI harus dikelola melalui dialog yang setara dan global. “Harapannya, akses atas teknologi AI bisa merata, regulasi keselamatannya dibangun dengan lebih kuat, dan menghindari konsentrasi pasar,” jelasnya.
Sementara itu, terdapat dua negara besar, yaitu Inggris dan Amerika, yang memilih untuk tidak sepakat. Hal ini disinyalir sebagai upaya kedua negara tersebut untuk mempertahankan dominasi dalam kompetisi AI saat ini. Ajar Edi menambahkan bahwa berdasarkan laporan Boston Consulting Group (BCG) terkait AI Maturity Index, Amerika dan Inggris termasuk dalam negara dengan sektor AI papan atas, sedangkan Indonesia, India, dan Brazil termasuk dalam negara kompetitor yang diperhitungkan. Jadi, konstelasi percaturan geopolitik AI kini semakin ketat.
Kedua, terkait bagaimana perusahaan rintisan menantang dominasi perusahaan global. Ajar Edi menyebut DeepSeek, salah satu platform AI asal China yang dinilai memiliki performa lebih efisien dari ChatGPT. Beliau menambahkan bahwa DeepSeek menggunakan GPU H20 sebagai bentuk kepatuhan terhadap embargo teknologi. “Inovasi dengan keterbatasan tapi semangatnya besar ternyata bisa memberikan hasil yang maksimal,” tuturnya.
Selanjutnya, Ajar Edi mengungkapkan bahwa banyak orang yakin AI akan sama suksesnya sebagaimana mesin cetak. Menilik sejarahnya, mesin cetak pertama kali ditemukan oleh seorang berkebangsaan Jerman. Namun, Belanda justru menjadi negara yang paling mampu memanen manfaat teknologi ini untuk keuntungan ekonomi. Beliau menyampaikan dua pendekatan yang diterapkan Belanda sebagai pembelajaran.
Pertama, Belanda memanfaatkan mesin cetak untuk memperkuat literasi masyarakat. Peningkatan literasi ini berperan penting dalam melahirkan inovator-inovator baru yang berkontribusi terhadap perkembangan teknologi. Kedua, keberadaan mesin cetak mendorong pertumbuhan industri percetakan yang pada akhirnya melahirkan ekosistem bisnis yang kuat. Dari ekosistem inilah Belanda kemudian dikenal sebagai pusat perdagangan yang berpengaruh, menjadikannya mercusuar dalam perdagangan global. “Dengan kapasitas AI sampai sekarang ini, akan banyak hal baru yang terjadi di masa depan. Jadi orang yang akan ketinggalan adalah orang yang tidak melengkapi dirinya dengan kemampuan atau knowledge baru,” jelasnya.
Sebagai penutup kuliah umumnya, Ajar Edi menegaskan bahwa AI memiliki potensi ekonomi yang besar sekali. Estimasi menunjukkan bahwa kontribusi AI diperkirakan akan mencapai 12% atau setara dengan 366 miliar Dolar AS pada tahun 2030. “Kampus sebagai pusat para ilmuwan dan talenta saya yakin jika diberikan ruang, posisi, atau kesempatan, mereka bisa membangun aplikasi AI lokal yang selaras dengan kebutuhan kita. Memiliki paten untuk aplikasi tentu merupakan salah satu hal untuk memperkuat ketahanan UGM sebagai sumber knowledge, sumber inovasi,” pungkasnya. (Aufa Kayla Azzahra/Editor: Ismail Abdulmaajid/Foto: Ramadhan Di Kampus UGM)