
Pengasuh Pondok Pesantren Darush Shalihat, Drs. Syatori Abdurrauf, menegaskan bahwa kebersihan hati merupakan pondasi utama dalam menuntut ilmu, baik untuk keberhasilan di dunia maupun di akhirat. Menurutnya, hati yang bersih menjadi penentu apakah ilmu yang dipelajari akan membawa manfaat atau justru sia-sia.
“Ilmu yang bermanfaat hanya dapat diraih ketika hati kita bersih dari sifat-sifat tercela seperti iri, sombong, dan dengki,” ujar Syatori saat menyampaikan ceramah Mimbar Subuh bertema “Kebersihan Hati: Kunci Utama dalam Menuntut Ilmu yang Bermanfaat” di Masjid Kampus UGM, Jumat (7/3/2025).

Dalam ceramahnya, Syatori Abdurrauf menjelaskan bahwa hati yang bersih atau qalbun salim adalah hati yang mampu mengenali dan merasakan rahmat Allah dalam segala kondisi. Ia mengutip sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Kekayaan bukanlah diukur dari banyaknya harta, melainkan kekayaan sejati adalah jiwa (hati).”
Menurut Syatori, pemilik hati yang bersih akan melihat setiap peristiwa sebagai bukti kasih sayang Allah, termasuk dalam menghadapi ujian hidup. Sebaliknya, hati yang kotor cenderung mudah mengeluh dan sulit bersyukur. “Bagi pemilik hati yang bersih (qalbun salim), langit biru adalah tanda kebesaran Allah, sedangkan bagi yang hatinya kotor, langit panas atau mendung selalu dianggap sebagai gangguan,” jelasnya.
Syatori kemudian menguraikan dua kriteria utama pemilik qalbun salim. Pertama, hati yang bersih mampu merasakan rahmat Allah dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam kebahagiaan maupun kesulitan. “Orang berhati bersih tidak memilah keadaan, baik senang maupun susah, ia tetap melihat Allah sebagai sumber segala rahmat,” tegasnya. Keyakinan ini, menurutnya, membuat seorang Muslim tidak mudah larut dalam rasa putus asa atau berlebihan dalam kebahagiaan.
Kedua, hati yang bersih terbebas dari belenggu ego dan tidak bergantung pada penilaian manusia. Syatori mengibaratkan orang yang berhati kotor sebagai seseorang yang memakai kacamata hitam: pandangannya sempit dan hanya berfokus pada kepentingan diri sendiri. Sebaliknya, pemilik qalbun salim cenderung tidak mudah tersinggung atau terprovokasi oleh ucapan maupun tindakan orang lain.
“Jika ada yang menghina anda, ingatlah itu adalah ‘hadiah pahala’ dari Allah. Yang perlu anda lakukan hanyalah tersenyum dan berterima kasih,” ujar Syatori menambahkan. Menurutnya, kebersihan hati bukan hanya sikap pasif, melainkan respons aktif untuk mengubah energi negatif menjadi ladang kebaikan.
Lebih lanjut, Syatori menyebut Ramadan sebagai syahrur rahmah atau bulan rahmat yang menjadi kesempatan terbaik untuk membersihkan hati. Ia mengutip sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa berpuasa Ramadan dengan iman dan mengharapkan pahala, maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari-Muslim). Momentum Ramadan, menurut Syatori, menjadi fase transformatif bagi umat Muslim untuk mengembalikan hati ke fitrahnya melalui ibadah dan refleksi diri.
Menutup ceramahnya, Syatori menegaskan bahwa kebersihan hati adalah investasi abadi yang membawa dampak besar bagi kehidupan dunia dan akhirat. “Hati yang bersih membuat ilmu yang dipelajari menjadi berkah, ujian hidup bertransformasi menjadi ladang pahala, dan harmonisasi antara urusan dunia-akhirat terjalin sempurna,” jelasnya.
Ia pun mengingatkan bahwa Ramadan merupakan waktu terbaik untuk “memanen” rahmat Allah secara optimal. “Panen rahmat bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi juga untuk keluarga dan orang-orang yang tercinta. Inilah tujuan akhir dari kebersihan hati,” pungkas Syatori. (Raizal Marandi/Editor: Ismail Abdulmaajid/Foto: Ramadhan Di Kampus UGM)