
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muslim Indonesia (MIUMI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Ustaz Ridwan Hamidi, Lc., M.P.I., M.A. menjelaskan bahwa wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad – shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perintah untuk membaca. Hal ini sebagaimana terdapat dalam lima ayat pertama Surah Al-‘Alaq yang mengandung pesan mendalam tentang ilmu dan perintah membaca.
“Secara harfiah, iqra berarti ‘bacalah’ dan merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad – shallallahu ‘alaihi wa sallam di Gua Hira, lebih tepatnya di sebuah bukit bernama Jabal an-Nur. Di sanalah beliau didatangi Malaikat Jibril dan diperintahkan untuk membaca,” ujar Ridwan saat menyampaikan ceramah Mimbar Subuh bertema “Iqra: Tafsir Wahyu Pertama dan Esensi Perintah Membaca dalam Islam” di Masjid Kampus UGM, Senin, 3 Maret 2025.
Ridwan Hamidi kemudian menjelaskan bahwa Nabi Muhammad menerima wahyu pertama ketika sedang mengasingkan diri dari masyarakat yang saat itu mengalami berbagai kerusakan moral dan sosial, yang dikenal sebagai masa Jahiliyah. Dalam penyampaiannya, beliau menyebut bahwa pada saat itu Malaikat Jibril datang dan memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca, namun Nabi Muhammad menyatakan tidak bisa membaca.
“Perintah tersebut diulang hingga tiga kali, hingga akhirnya wahyu Allah diturunkan dalam surah Al-’Alaq,” katanya menjelaskan.
Ustaz Ridwan menjelaskan, surah Al-‘Alaq ayat 1-5 menjadi awal dari perubahan besar dalam masyarakat, membawa perintah membaca sebagai langkah awal membangun peradaban Islam dan memperbaiki tatanan yang telah rusak. Ia menambahkan, masa Jahiliyah bukan hanya ditandai oleh ketidaktahuan dalam membaca dan menulis, tetapi juga oleh berbagai bentuk ketidakadilan sosial. Misalnya, pada masa itu, masyarakat tega membunuh anak perempuan hidup-hidup karena menganggap mereka sebagai aib keluarga.
Menurut Ustaz Ridwan, Islam hadir untuk memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun keagamaan melaui ilmu dan pendidikan. Ia menekankan bahwa perintah membaca dalam Islam bersifat luas dan tidak terbatas hanya pada membaca Al-Qur’an.
“Ketika Allah memerintahkan Iqra, tidak disebutkan objek tertentu yang harus dibaca. Ini menunjukkan bahwa membaca dalam Islam mencakup semua hal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia,” ujarnya.
Dalam ceramahnya, Ridwan Hamidi juga menyoroti pentingnya budaya membaca dan menulis di kalangan umat Islam. Beliau menyebutkan bahwa para ulama terdahulu memiliki kebiasaan membaca yang luar biasa, bahkan sejak usia muda.
“Imam Ibnul Jauzi, misalnya, pada usia muda sudah menyelesaikan ribuan buku. Para ulama terdahulu tidak hanya membaca, tetapi juga menulis, sehingga ilmu mereka tetap bermanfaat bagi generasi setelahnya,” ungkapnya.
Selain itu, Ridwan Hamidi juga mengkritisi rendahnya minat baca di kalangan masyarakat saat ini, termasuk di lingkungan akademik. Menurut beliau, masih banyak mahasiswa yang enggan membaca buku-buku tebal, meskipun membaca merupakan kunci utama dalam memperluas wawasan dan pemahaman. Beliau juga mengingatkan bahwa tantangan di era modern tidak hanya sebatas buta huruf, tetapi juga buta informasi – ketika seseorang enggan membaca dan memahami ilmu dengan benar.
Sebagai penutup, Ridwan Hamidi berpesan kepada umat Islam agar terus meningkatkan budaya membaca dan menulis demi kemajuan serta kebaikan diri sendiri maupun masyarakat. Beliau menegaskan bahwa membaca merupakan awal dari perubahan, sedangkan menulis adalah cara untuk mewariskan ilmu. Oleh karena itu, beliau mengingatkan agar tidak tertinggal hanya karena enggan untuk membaca. (Novita Adhellia Putri/Editor: Rama Shidqi P./Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)