
“Seberapa berdayanya kita? Baik sebagai umat Islam maupun sebagai bangsa Indonesia di hadapan umat yang lain dan di hadapan bangsa yang lain?”
Pertanyaan tersebut menjadi pembuka dalam diskusi akademik bertajuk Ramadan Public Lecture (RPL) yang pertama pada Jumat, 28 Februari 2025. Acara ini menghadirkan Dr. Mohamad Yusuf, M.A., Ketua Takmir Masjid Kampus UGM sekaligus dosen di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Dalam kuliah publiknya, Dr. Mohamad Yusuf mengangkat tema “Islam dan Pembangunan Inklusif Berkelanjutan”. Beliau membuka sesi dengan membacakan Surat Al-‘Alaq ayat 1-5 sebagai pengantar untuk membahas urgensi pemberdayaan umat dalam berbagai aspek kehidupan.
Dr. Mohamad Yusuf menyoroti dua indikator utama yang kerap digunakan untuk mengukur keberdayaan suatu bangsa, yakni Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia dan Programme for International Student Assessment (PISA). HDI, yang dirilis oleh United Nations Development Programme (UNDP), mencakup aspek harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup yang layak. Berdasarkan data terbaru, HDI Indonesia berada di angka 0,713, menempati peringkat 112 dari 190 negara, lebih rendah dari rata-rata global (0,727) serta tertinggal dibanding Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Sementara itu, PISA—sebuah evaluasi global yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)—menempatkan Indonesia di peringkat 68 dari 80 negara pada tahun 2024. Sebagai perbandingan, Vietnam berada di peringkat 34, Malaysia di peringkat 54, dan Thailand di peringkat 62.
Merespons temuan ini, Dr. Mohamad Yusuf mengajak umat Islam untuk merefleksikan cara mereka berislam. “Kita perlu melihat ulang cara berislamnya kita. Bukankah Islam telah mengajarkan kita untuk menjadi umat yang berdaya,” ujarnya, sembari mengutip Surat Ali Imran ayat 110 yang menegaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik.
Dalam perspektif pendidikan, beliau menjelaskan bahwa refleksi diri dapat dilakukan melalui tiga aspek utama: aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik atau sikap. Aspek pertama adalah kognitif, yang mencerminkan kapasitas intelektual seseorang. Aspek kedua adalah afektif, yang berkaitan dengan nilai dan emosi. Aspek ketiga adalah psikomotorik atau attitude, yang merefleksikan implementasi nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Dr. Mohamad Yusuf menekankan bahwa Ramadan adalah momentum strategis untuk memperbaiki kualitas keberislaman umat. Dari aspek kognitif, Ramadan menjadi bulan pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman keislaman. Dari aspek afektif, Ramadan menanamkan nilai keikhlasan dan kejujuran dalam beribadah. Sedangkan dari aspek psikomotorik, Ramadan mengajarkan perubahan perilaku dengan mendorong individu meninggalkan kebiasaan buruk dan mengadopsi perilaku yang lebih baik.
Menutup sesi kuliahnya, Dr. Mohamad Yusuf kembali membacakan Surat Al-‘Alaq ayat 1-5, yang menurut para ulama merupakan pondasi epistemologi Islam. Beliau menegaskan bahwa keberislaman yang ideal harus dilandasi oleh motivasi yang benar dan diterapkan secara nyata dalam kehidupan sosial.
Sebagai pesan terakhir, beliau mengajak jamaah untuk menyambut Ramadan dengan penuh rasa syukur dan harapan akan rida Allah. Ramadan kali ini diharapkan menjadi periode penuh keberkahan serta kesempatan bagi umat untuk meningkatkan ketakwaan dan kualitas hidup dalam berbagai aspek. (Ilham Gusti Helmy Alamsyah/Editor: Ismail Abdulmaajid/Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)