
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., hadir sebagai pembicara pada Kajian Kamis Sore di Masjid Kampus UGM, Kamis (14/8/2025). Kajian bertema “Sudahkah Sejahtera? Kilas Balik 80 Tahun Indonesia Merdeka” ini mengajak jemaah menelisik makna sejati kesejahteraan, sekaligus mengkritisi paradoksal negara yang atas nama kesejahteraan justru menindas rakyat.
Dalam pemaparannya, Zainal menegaskan, kesejahteraan bukan sekadar angka statistik, tetapi mencakup terpenuhinya kebutuhan dasar, rasa aman, dan martabat warga. “Kesejahteraan adalah tugas negara,” ujarnya, sebelum menjelaskan tiga kewajiban utama negara: menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak rakyat.
Dalam menjelaskan tantangan Indonesia untuk menuju kesejahteraan yang penuh, Zainal menyoroti fenomena yang disebutnya “paradoksal negara”. Menurutnya, negara dibentuk untuk menyejahterakan rakyat, tetapi kerap melanggar hak-hak mereka demi proyek atau kebijakan tertentu.
“Negara membangun atas nama kesejahteraan, tapi di sisi lain merusak kehidupan warga di wilayah itu,” jelasnya. Kesejahteraan warga negara sering kali bergantung pada imaji negara tentang apa yang disebut sebagai kesejahteraan itu sendiri. Ia menambahkan, ketimpangan ekonomi yang tinggi juga merupakan tantangan yang serius. Ketimpangan ekonomi sering dipandang sebagai masalah personal, padahal sesungguhnya bersifat struktural. “Negara sering memberi solusi personal seperti bansos, padahal yang dibutuhkan adalah pembenahan struktural,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan di Indonesia memang menurun. Namun, Zainal menekankan bahwa tolok ukur resmi ini tidak cukup adil. Ia menegaskan bahwa indikator berbasis angka mudah dimanipulasi sehingga menciptakan ilusi sejahtera, sementara sebagian rakyat tetap hidup dalam ketidakpastian.
Baca juga: Fajri Matahati Tekankan Pentingnya Kesadaran Kolektif untuk Melawan Ketidakadilan Global
Dari sisi sejarah, Zainal mengingatkan bahwa kondisi Indonesia 1945 dengan buta huruf dan gizi buruk jelas berbeda dengan 2025. Namun membandingkan era pemerintahan satu dengan yang lain, menurutnya, sering kali tidak adil tanpa mempertimbangkan konteks yang berbeda. Zainal juga menegaskan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia di Indonesia belum merata. Ia membedakan antara “kebodohan” dan “pembodohan”, mengkritik sistem yang justru mempertahankan ketertinggalan rakyat.
Ia juga menyoroti kerusakan lingkungan yang masih dianggap wajar atas nama pembangunan. Padahal, UUD menjamin hak generasi mendatang atas lingkungan yang sehat.
“Ruang-ruang mengkritisi negara harus dibuka lebar. Ruang kesadaran publik harus direbut kembali,” ujarnya, mengajak jemaah untuk melek terhadap konsep ideal yang seharusnya dijalankan negara.
Menguatkan pesannya, Zainal mengutip QS. Ar-Ra’d ayat 11:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Ayat ini, menurutnya, menjadi dorongan moral bahwa perubahan menuju kesejahteraan harus dimulai dari kesadaran kolektif rakyat.

Menjawab pertanyaan salah satu jemaah, Zainal menjelaskan bahwa hampir semua aliran hukum membicarakan kesejahteraan melalui konsep keadilan. Ia membedakan equality (kesetaraan perlakuan) dan equity (kesetaraan sesuai kebutuhan) sebagai pendekatan hukum yang saling melengkapi. Selain itu, dalam menanggapi pertanyaan soal optimisme hidup di Indonesia, ia menegaskan pentingnya membangun harapan. “Mengkritisi negara bukan berarti benci, tapi justru bentuk cinta. Kondisi sekarang tidak selamanya. Kita harus berusaha mengubahnya,” pesannya. (Rahmaisya / Editor: Indra Oktafian Hidayat / Foto: YouTube Masjid Kampus UGM)
