Menutup rangkaian Ramadan Public Lecture (RPL) yang diadakan di Masjid Kampus UGM, pada 28 Maret, Prof. Drs. M. Mukhtasar Syamsuddin, M.Hum., Ph.D of Arts, Guru Besar Fakultas Filsafat UGM, membahas “Inovasi Kebijakan Berbasis Kecerdasan Artifisial di Sektor Pelayanan Publik.” Beliau menjelaskan, penerapan artificial intelligence atau AI dapat meningkatkan efektivitas pelayanan publik, tetapi juga menimbulkan tantangan etis yang perlu diperhatikan.
Terdapat tiga konsep utama dalam tema ini yaitu inovasi kebijakan, kecerdasan artifisial, dan pelayanan publik. Dalam Islam, kebijakan yang inovatif harus tetap berlandaskan prinsip keadilan, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah ayat 8, “Wahai orang yang beriman, jadilah kalian sebagai penegak kebenaran, menjadi saksi dalam penegakan keadilan, dan janganlah kebencianmu membuat kamu tidak adil, berlaku adillah, karena berlaku adil itu dekat dengan ketakwaan.” Mukhtasar menjelaskan bahwa pemanfaatan AI dalam kebijakan pelayanan publik harus memastikan keadilan agar mendekatkan manusia kepada ketakwaan.
Sebagai contoh, Sophia, robot humanoid berbasis AI, mampu memahami bahasa manusia, mengenali wajah, dan mengolah data melalui Machine Learning. Mukhtasar juga menjelaskan bahwa AI dapat membuat kebijakan lebih administratif, efisien, cepat, dan akurat. Namun, tantangan muncul dalam memastikan kebijakan tetap mempertimbangkan empati bagi masyarakat yang menjadi sasaran pelayanan.
Beliau menjelaskan, AI bersifat materialistik, sedangkan manusia memiliki aspek spiritual. Oleh karena itu, inovasi kebijakan berbasis AI tidak dapat menggantikan manusia sebagai subjek utama dalam pengambilan keputusan. “Di balik manfaat dan keunggulan artificial intelligence, kita sebagai manusia yang menciptakan dan memprogram mesin berbasis materialisme ini harus memastikan bahwa AI tidak betul-betul menggantikan manusia sebagai subjek utama dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan,” ujar Mukhtasar.
Dalam penerapan AI di pelayanan publik, ada beberapa tantangan yang perlu diantisipasi. Pertama, bias algoritma yang terjadi karena AI bekerja berdasarkan big data yang telah terpolarisasi secara historis. Jika data yang digunakan condong pada satu kelompok tertentu, kebijakan yang dihasilkan bisa bersifat diskriminatif. Kedua, ketergantungan manusia pada AI dapat mengikis daya pikir kritis dan keyakinan terhadap potensi akal yang dianugerahkan oleh Allah. Ketiga, mengutip filsuf Hannah Arendt, “Kekurangan interaksi antar manusia, antara orang yang dilayani dengan mereka yang melayani.” Jika pelayanan publik bergantung pada AI, interaksi manusiawi berkurang, berpotensi mengikis solidaritas sosial, dan menyebabkan krisis interaktif antar manusia.
Mukhtasar menekankan bahwa pemanfaatan AI yang tidak adil dapat mengarah pada ketidakadilan struktural dalam pelayanan publik. AI bisa dimanfaatkan oleh pihak berkuasa untuk kepentingan kelompok tertentu tanpa mempertimbangkan keadilan bagi semua. Oleh karena itu, inovasi kebijakan berbasis AI harus tetap berlandaskan prinsip keadilan dan kesejahteraan umat. Sebelum mengakhiri pemaparan, beliau menegaskan, filsafat Islam memberikan landasan kuat bahwa ilmu pengetahuan, termasuk AI, harus selalu berpijak pada nilai keadilan, kesejahteraan umat, dan semata-mata mengharap ridha Allah agar dapat memperkuat pelayanan publik tanpa menggeser peran manusia sebagai pengambil keputusan yang berlandaskan moral dan spiritual. (Rizky Laksmitha/Editor: Ismail Abdulmaajid/Dok: Ramadhan Di Kampus UGM)