Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Hal tersebut merupakan suatu anugerah bagi negara Indonesia sehingga Indonesia pantas disebut sebagai benua maritim. Hal tersebut dikatakan oleh Prof. Ir. Hari Muhammad, Ph.D., Ketua Kelompok Keahlian Mekanika dan Operasi Terbang Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung dalam Ramadhan Public Lecture (RPL) pada Sabtu, 22 Maret 2025 dengan tema “Pengembangan Pesawat Regional: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia”.
“Dengan banyaknya pulau-pulau yang ada di Indonesia, maka tentu (Indonesia) perlu meningkatkan konektivitas antar pulau tersebut. Jadi, antar pulau tersebut mestinya harus tersambung. Ini demi untuk mendorong, tentunya pertumbuhan ekonomi, jadi jangan hanya sarana ketersambungan ini, konektivitas itu di tempat-tempat tertentu saja, sampai ke pulau-pulau terkecil pun harus perlu ditingkatkan (konektivitasnya),” ujarnya.
Menurut Hari Muhammad, pengembangan pesawat amfibi memiliki potensi besar sebagai transportasi yang lebih cepat dibanding kapal. Kapal memang lebih murah dan mampu mengangkut barang dalam jumlah besar, namun kecepatannya hanya sekitar 20-30 knots atau setara dengan 36-54 km/jam. Sebaliknya, pesawat mampu mencapai kecepatan hingga 300 knots atau setara dengan 400 km/jam, dengan jangkauan yang lebih luas.
Lebih lanjut, ia menyoroti ketidakmerataan penduduk Indonesia sebagai tantangan yang dapat diatasi melalui peningkatan konektivitas antar pulau. “Penduduk kita itu saat ini kira-kira 280 juta jiwa. Namun, sayangnya distribusinya, yang tadi saya katakan, 17.000 pulau, distribusinya masih kurang merata. Saat ini, 56% masih tinggal di Pulau Jawa, masih di kota-kota besar yang ada di Pulau Jawa ini. Kalau mau hijrah ke tempat lain itu masih luas tempat kita itu,” katanya.
Hari Muhammad menyoroti peluang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan pesawat amfibi. Selain dapat menunjang mobilitas masyarakat dan logistik, pesawat jenis ini juga berperan strategis dalam layanan medis darurat di daerah terpencil. “Pesawat amfibi ini lebih cepat daripada kapal sehingga cocok untuk keperluan medis antar pulau,” jelasnya.
Selain itu, ia menambahkan bahwa pesawat amfibi memiliki potensi besar untuk sektor pariwisata. Saat ini, pesawat amfibi kerap disewa oleh wisatawan asing atau kalangan tertentu yang ingin menjangkau destinasi wisata di pulau-pulau kecil.
Dalam paparannya, Hari Muhammad menyoroti bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan pesawat berukuran kecil seperti pesawat amfibi daripada menyaingi industri pesawat besar seperti Boeing atau Airbus. PT Dirgantara Indonesia telah mengembangkan pesawat N-219 yang dirancang hanya untuk 19 penumpang guna menghindari kewajiban menambah awak kabin. “Jika pesawat berpenumpang kurang dari 20 orang, maka tidak perlu ada pramugari atau pramugara untuk melayani penumpang,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hari Muhammad menegaskan bahwa konversi pesawat N-219 menjadi pesawat amfibi merupakan opsi yang lebih efisien dibandingkan membangun pesawat baru dari nol. “Konversi dari pesawat yang sudah ada, yang kita punya, N-219 menjadi pesawat amfibi itu tentunya mempunyai potensi yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan transportasi di Indonesia, khususnya untuk daerah 3T tadi (Terluar, Terdepan, Tertinggal),” tuturnya.
Hari Muhammad menjelaskan bahwa konversi pesawat N-219 menjadi pesawat amfibi diperkirakan hanya memerlukan biaya sekitar Rp400 miliar, termasuk biaya sertifikasi. Sementara itu, pengembangan pesawat amfibi baru bisa mencapai Rp4-5 triliun. Ia pun menyoroti bahwa pengembangan pesawat amfibi akan lebih efektif jika didukung dengan pembangunan dermaga apung, yang biayanya jauh lebih murah dibanding pembangunan landasan pacu konvensional.
Sebagai penutup, Hari Muhammad menegaskan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam pengembangan pesawat amfibi yang mampu menjangkau pulau-pulau kecil di Nusantara. Dengan sinergi antara pemerintah, industri, dan akademisi, ia optimistis Indonesia mampu menghadirkan solusi transportasi yang lebih efektif dan efisien untuk menjangkau wilayah yang sulit dijangkau. (Rahma Wulan Febriyanti/Editor: Ismail Abdulmaajid/Foto: Ramadhan Di Kampus UGM)