Dalam Mimbar Subuh Ramadan Public Lecture 1445 H di Masjid Kampus UGM, Ketua Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara, Anton Ismunanto, S.P.d.I., M.Pd. mengawali ceramahnya dengan membongkar definisi terkait tasawuf dan sains. Anton menyebutkan bahwa kesulitan terbesar dalam berbicara mengenai tasawuf dan sains adalah membongkar pandangan awal mengenai keduanya sebagai sebuah rumpun pengetahuan.
“Jika kedua rumpun tersebut tidak dibongkar terlebih dahulu, bisa jadi bukan hanya tidak bertemu, tetapi justru diandaikan bertentangan dan berbenturan.” ujar Anton dalam ceramah pada Kamis (28/03) yang mengangkat tajuk “Peran Tasawuf dalam Perkembangan Sains dan Teknologi” itu.
Anton menyatakan bahwa tasawuf berkaitan dengan rasa atau intuisi, dan menjadi persoalan yang subjektif. Ia menjelaskan, secara etimologis, bertasawuf merupakan kegiatan memakai kain wol yang menunjukan asketisme, kesederhanaan hidup.
Ia menyebut tasawuf memiliki beragam wajah yang secara konseptual adalah intensifikasi dan ekstensifikasi dari pembahasan mengenai akhlak. Akhlak dalam maknanya yang paling sederhana adalah menata diri, sedangkan dalam Islam juga mencakup pengelolaan jiwa.
Lebih lanjut, Anton menyatakan bahwa tasawuf memiliki ragam penyebutan seperti Tirul Qulub, Siasatun Nafs, Tahbul Akhlak, dan lainnya yang menunjukkan kekompleksannya. Tasawuf sebagai ilmu memiliki unsur-unsur teoritik dan rasional. Ia meminta agar tidak menganggap akhlak, misalnya, hanya pembiasaan, karena orang yang tidak memiliki gambaran tentang satu nilai kebaikan tertentu tidak akan bisa melakukannya.
Anton menjelaskan bahwa sains berasal dari bahasa Inggris yang diserap dari bahasa Latin, memiliki arti pengetahuan. Pada abad ke-17 di Eropa, sains diartikan sebagai pengetahuan apa pun. Hingga memasuki abad ke-20 dan ke-21, sains diperketat pada pengertian yang mencirikan kegiatan yang bersifat empiris dapat diuji, dapat diterima secara rasional, dan merujuk pada benda-benda alam.
Lebih lanjut Anton menyatakan, pendefinisian semacam itu memunculkan rasa superior atas pengetahuan dan berdampak pada penilaian terhadap manusia yang memiliki jiwa, berbeda dengan benda alam yang tidak berjiwa. Ia menilai, tidak mungkin manusia yang berjiwa diukur dengan ukuran benda-benda yang tidak punya jiwa.
Anton juga menjelaskan bahwa sains dalam perspektif Islam adalah sebuah ilmu yang dapat dihierarkikan. Dalam kata umum, sains dalam Islam dimaknai sebagai ilmu manusia sampai pada ilmu alam. Sedangkan dalam makna khusus, sains adalah ilmu rasional dan objektif yang dikuantifikasi secara teoritik maupun praktik, serta dituntun oleh ilmu yang lebih tinggi – yaitu ilmu agama.
“Tasawuf kemudian diartikulasikan secara rasional dan filosofis, sehingga menjadi paradigma untuk melihat sains yang ada di bawahnya,” ujar Anton.
Ia menyebut, posisi tasawuf adalah ilmu yang memiliki hierarki di atas dan berasal dari Alquran dan hadis. Tasawuf kemudian menjadi lebih detail karena ditambahkan pengalaman kejiwaan yang kompleks. Menurutnya, tasawuf secara khusus menjadi kerangka paradigma sebagai cara pandang terhadap realitas dan menjadi panduan melihat hal yang nyata dan tidak, serta melihat hal yang benar dan salah dari ajaran Alquran. (Ariani Eka Putri/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)