Guru Besar Fakultas Filsafat UGM, Prof. Drs. Mukhtasar Syamsuddin, M.Hum., Ph.D. of Arts menyampaikan ceramah Tarawih Ramadan Public Lecture 1445 di Masjid Kampus UGM, Kamis (28/03). Dalam ceramahnya, ia berbicara mengenai iman dan pikiran yang tidak bersifat dikotomis dan cara suatu interpretasi digunakan dalam mendekati dan memahami ayat Allah secara historis dan empiris.
Ia mengatakan bahwa iman dan pikiran, kepercayaan dan pikiran, serta intelektualitas dalam Islam bukan hal dikotomis. Kualitas iman seseorang akan semakin kuat, melangkah ke tingkat yang lebih tinggi jika ia mendayagunakan akalnya dalam mendalami ayat-ayat Allah. Kepercayaan dan akal, serta hati nurani dan akal juga tidak terpisah secara dikotomis, keduanya saling menyatu dalam rangka menegakkan keimanan.
“Dalam berislam, atau agama Islam itu sendiri, jangan semata-mata kita lihat ritualitasnya, tetapi jangan dilupakan bahwa kita berkumpul di sini ada dimensi sosial di sana dalam rangka menguatkan brotherhood (persaudaraan). Persaudaraan antara kita yang seiman yang dapat diwujudkan dalam solidaritas. Hal ini menunjukkan, bahwa di sinilah pentingnya nikmat Allah yang diberikan kepada kita berupa akal pikiran untuk kita gunakan dalam memperkuat keimanan kita,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa seorang intelektual muslim di negeri ini, Kuntowijoyo, mengenalkan cara suatu interpretasi digunakan dalam mendekati dan memahami ayat Allah secara historis dan empiris melalui karyanya yang berjudul “Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi”. Di situ, ditunjukkan cara ia melakukan pendekatan historis dalam memahami Islam dalam rangka membawa ajaran agama dalam bentuk aksi.
“Islam yang Indonesia adalah islam yang historis, begitu pun Afrika dan Arab. Jadi, pemikiran kita terhadap Islam tidak semata-mata bersifat normatif. Allah ridha menjadikan Islam sebagai agama kita, tetapi bagaimana memperoleh keridhaan Allah tidak bisa kita pahami jika tidak menggunakan akal pikiran dalam memahami ayat Allah yang bersifat historis,” katanya.
Menurutnya, Islam yang berkonteks Indonesia adalah Islam yang dibangun di tengah pluralitas dan dibawa secara historis sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Letak perwujudan ketakwaan di dalam menghadapi pluralitas itu adalah saling menghargai dalam perbedaan iman sekalipun. Berikutnya adalah mengolah kenyataan di dalam Indonesia yang plural, untuk menentukan masa depan Islam di masa depan dalam konteks keindonesiaan.
Prof. Mukhtasar melanjutkan, hal itulah yang kemudian diwujudkan dalam bentuk aksi. Ia membuat permisalan pada ayat yang secara nyata dan tegas tentang perintah zakat, yang menurutnya perlu diinterpretasikan dalam bentuk pajak di negeri ini. Menurutnya lagi, wajib pajak dan pemerintah harus bekerja sama melahirkan keadilan, sebagaimana tujuan agama Islam dalam mewartakan dan membumikan keadilan dalam kehidupan nyata.
Prof. Mukhtasar menambahkan, dalam menggunakan pendekatan historis, umat Islam ingin membangun paradigma keberislaman baru yang secara paradigmatik dituntun ajaran normatif agama, dengan unsur yang bersifat transendental. Akan tetapi, menurutnya, perlu dilakukan interpretasi terhadap unsur yang bertransendentasi dengan memperhatikan aspek faktual atau historis masyarakat, sehingga norma atau nilai itu menjadi aksi dalam kehidupan sehari-hari.
Ia juga mengingatkan agar ilmuwan, mahasiswa, dan dosen yang mengklaim memiliki ilmu tidak menjadi intelektual yang angkuh dan mendewakan pemikiran. Maka dari itu, beragama dengan benar, yang dimaksudkan dengan ‘udkhulu fissilmi kaffah’, adalah perpaduan antara iman dan pemikiran. Hal itu, menurutnya, menjadi satu kesatuan dan sebuah paradigma dalam membumikan ayat Allah, baik dalam perilaku sehari-hari maupun dalam kehidupan berbangsa.
“Sebagai konsekuensi pendekatan historis, empirik aktual itu, kita harus membuka penafsiran dan pemahaman kita itu untuk bisa berdialog dengan berbagai macam perbedaan pandangan yang memahami ayat Allah. Dengan demikian juga, perbedaan pandangan itu akan menjadi rahmat bagi kita sekalian, “ ujarnya. (Meitha Eka Nurhasanah/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)