Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M., mengajak jemaah tarawih Masjid Kampus UGM berpikir rasional dalam melihat hasil Pemilu 2024. Hal ini ia sampaikan dalam ceramah tarawih Ramadhan Public Lecture Masjid Kampus UGM, Sabtu (30/3).
Menurutnya para penghuni masjid perlu melakukan rasionalitas yang membangun kesadaran dan kepedulian kepada seluruh bangsa, sehingga dapat “memporak-porandakan rezim”. Hal ini, lanjutnya, sebagaimana dalam hadis Nabi (yang dianggap lemah oleh sebagian ulama) di mana Nabi mengatakan saat memenangkan Perang Badar bahwa akan datang perang yang lebih besar. Perang tersebut adalah perang melawan hawa nafsu, yang fokus pada diri sendiri dan mengabaikan apa yang ada di sekitarnya.
“Seberapa banyak publik yang membangun kesadaran dirinya, keluarganya, tetangganya, orang di sekitarnya? Bahwa ada yang mengatakan bansos (bantuan sosial) itu halal, sah, menurut negara, ya, sah,” tuturnya.
Menurut Feri, bansos memang halal dan merupakan program tahunan, namun penyalahgunaannya bermasalah jika digunakan untuk mempengaruhi pilihan tertentu. Selain itu, bansos yang awalnya halal justru digunakan untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu. Praktik politik tersebut dapat dikatakan sebagai “politik gentong babi”, yang menurutnya telah merusak pilihan dan kesadaran sekian banyak publik.
Ia melanjutkan dengan mengisahkan sejarah istilah politik gentong babi, yang merujuk pada era perbudakan tahun 1700-an. Kisah ini berawal ketika para pemilik tanah di Amerika membujuk rayu hati para budak agar mereka tetap mau bekerja dan menyukai tuannya dengan membagi-bagikan daging babi. Daging babi yang akan dibagikan dilumuri garam sehingga bertahan lama ketika dimasukan dalam gentong.
Ketika hari yang dimaksudkan tiba, para pekerja telah kelelahan bekerja berhari-hari, maka tuan tanah melemparkan gentong-gentong babi itu kepada para budak. Para budak akan berebut daging-daging babi gratis sembari berkata bahwa ini adalah kebaikan tuannya. Mereka lupa bahwa mereka diperbudak puluhan tahun, bekerja untuk tuannya tanpa dibayar, lalu mereka memuji tuan-tuannya.
Hal ini, kata Feri, juga dilakukan Belanda kepada para pribumi di era penjajahan dengan membagikan makanan. Menurutnya, politik etis juga merupakan bagian dari konsep gentong babi.
“Nah, siapakah di antara kita yang kemudian sadar ada yang salah, lalu kemudian membiarkan ini karena merasa ‘ini bukan pekerjaan kita’? Kalau kita tidak ikut campur, ini akan ‘selesai’. Ya, itulah bagian dari kekalahan Ramadan,” katanya melanjutkan.
Menurut Feri, narasi ini ia bicarakan dalam bulan Ramadan ebagai pengingat bahwa Ramadan bukan sekedar bulan untuk bertafakur dan memohon ampun atas dosa-dosa, tetapi diatas segala-galanya ada janji suatu malam yang lebih hebat dari seribu bulan. Oleh karena itu, bulan Ramadan seharusnya dijadikan sebagai bulan menemukan gagasan pertobatan, menemukan hidayah-hidayah baru yang seharusnya mampu dieksekusi oleh diri sendiri.
Feri menutup ceramahnya dengan mengingatkan jemaah bahwa sebagain orang yang berbicara rezim akan berpotensi menjadi rezim berikutnya. Ia juga mengingatkan, bahwa sifat kekuasaan adalah menyimpang dan kekuasaan absolut sudah pasti menyimpang. Pejabat negara berpotensi melakukan penyimpangan, sehingga publik bertugas untuk mengawasi, termasuk saat penyelenggaraan pemilu. (Nur Sa’adah Nubatonis/Rama S./Dok: Tim Media Masjid Kampus UGM)