Dosen Fakultas Teknik (FT) Universitas Gadjah Mada, Ir. Muhammad Agung Bramantya, S.T., MT., M.Eng., Ph.D., IPM., ASEAN Eng. menyampaikan ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H, Senin (18/3) di Masjid Kampus UGM. Dalam ceramah bertajuk “Strategi Perguruan Tinggi dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif bagi Seluruh Strata Ekonomi” itu, ia berbicara tentang upaya Nabi Muhammad membawa umat manusia keluar dari zaman jahiliyah, atau “zaman kebodohan”. Menurutnya, hal tersebut disokong oleh pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat, yang menurutnya merupakan pendidikan yang inklusif.
Dalam ceramahnya, ia memulai dengan menjelaskan bahwa Islam pertama kali dibawa Nabi Muhammad pada 1400 tahun yang lampau di Jazirah Arab. Menurutnya, kala itu dalam peta dunia bangsa Arab sama sekali tidak pernah dilirik dunia karena kondisi geografis, potensi alam, dan manusia yang tidak terlalu menguntungkan di mata mereka. Pada tempat yang gersang itu, Allah ta’ala dengan segala hikmah dan kemuliaannya menghadirkan Islam yang hari ini bisa kita peluk.
“Kalau berkaca pada saat itu, maka tugas baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kita kenal membawa umat manusia keluar dari zaman jahiliyah ke zaman hidayah Allah subhanahu wa ta’ala, menjadi sangat berat karena masyarakatnya tidak pernah dipandang dan status pendidikannya mereka merupakan bangsa yang tertinggal,” katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam kurun waktu kurang dari satu abad, Nabi Muhammad meninggalkan umat yang begitu cemerlang, umat yang siap menanggung segala beban peradaban. Tidak kurang dari seratus tahun sepeninggalan Nabi Muhammad, Islam bisa tersebar hampir di sepertiga belahan bumi.
“Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima risalah, kemudian beliau mengajak orang terdekatnya, kemudian kabilah, dan meluas ke Jazirah Arab. Kemudian, ternyata bisa mengubah wajah Arab yang dulunya tertinggal, saling konflik, dan tidak dikenal peradaban manapun. Setelah sepeninggal Rasulullah, maka Jazirah Arab yang saat ini mungkin sekitar enam negara, ternaungi Islam,” ujarnya.
Menurutnya, salah satu kunci utama Rasulullah bisa mengubah keadaan umat yang gelap gulita menjadi terang benderang adalah dengan mengubah pola pikir mereka. Pola pikir yang tadinya tidak memiliki konsep ketuhanan sama sekali kemudian dicerahkan agar mereka memandang dunia ini secara utuh. Berdasarkan hal tersebut, Nabi melaksanakan transformasi yang disebut sebagai transformasi pendidikan.
“Islam itu kemudian tidak memilih mana yang budak, mana yang merdeka. Semuanya ketika memiliki potensi yang bagus maka Islam itu kemudian melakukan proses pendidikan kepada semuanya tanpa pandang bulu background-nya (latar belakangnya), atau yang kemudian kita kenal sebagai pendidikan yang inklusif,” ujarnya.
Agung mengatakan bahwa konsep pendidikan inklusif harus menjadi spirit di seluruh dunia pendidikan. Menurutnya, ini tidak hanya penting pada pendidikan di perguruan tinggi, tetapi juga pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Ia menambahkan, dalam mewujudkan pendidikan yang bisa merata bagi seluruh umat, pilar dari pendidikan inklusif itu adalah pembiayaan yang berasal dari wakaf.
“Wakaf ini adalah literatur islam yang sangat luar biasa, yang hari ini kita masih buta akannya,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa saat ini orang-orang mengira wakaf harus berupa pembangunan masjid atau tanah yang dibangun masjid di atasnya. Padahal, di masa keemasan Islam, wakaf ini dikembangkan secara produktif. Di akhir ceramahnya, Agung juga mengajak agar kita memikirkan transformasi umat terdahulu, yang sebelumnya terbelakang bisa bangkit menjadi umat yang disegani dan memberi pencerahan kepada lainnya karena kualitas manusia yang unggul.
“Tarbiyah dalam Islam itu tujuannya mengantarkan peserta didik menjadi dirinya yang paling optimal dan mumpuni, tetapi bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan itulah peradaban yang baik, peradaban yang unggul bisa kita semai,” pungkasnya. (Meitha Eka Nurhasanah/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)