Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, dalam ceramah tarawih Ramadan Public Lecture yang diselenggarakan di Masjid Kampus UGM, Sabtu (16/03) menyoroti kemunduran demokrasi di Indonesia. Menurutnya, terdapat tiga pangkal muasal yang menyebabkan kacaunya nalar publik dan kompas moral belakangan ini. Alfath juga menjelaskan bagaimana cara memulihkan nalar publik dan kompas moral kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mengajak untuk kritis demi masa depan kemanusiaan.
Dalam ceramahnya, beliau memulai dengan membeberkan berbagai lembaga survei internasional yang menunjukkan kemunduran demokrasi di berbagai negara, seperti V-Dem Institute, Freedom House, dan The Economist Intelligence Unit. V-Dem Institute merilis sebuah kajian mengenai kondisi sekitar 60 negara di dunia yang mengalami tren kemunduran demokrasi dan memasuki era otokrasi, yang salah satunya adalah Indonesia. Bahkan The Economist Intelligence Unit mengungkapkan fakta bahwa Indonesia mengalami penurunan peringkat, dan masih tergolong sebagai flawed democracy atau “demokrasi yang cacat”.
Alfath menuturkan, ketika masyarakat berbicara demokrasi, demokrasi adalah isu tentang semua, isu tentang cara kebijakan publik dieksekusi, serta cara sebuah kebijakan publik berasal dari kepentingan dan kehendak publik. Demokrasi, menilai pentingnya meritokrasi, menilai tentang proses dan cara menghargai hukum. Akan tetapi, menurutnya, apa yang terjadi belakangan ini justru menunjukkan hal yang sebaliknya.
“Belakangan kita melihat persoalan demokrasi dianggap sepele dan seolah menjadi isu kalangan terdidik saja, karena banyak sekali domain permasalahan yang dianggap sepele, yang tidak merepresentasikan persoalan kepublikan. Padahal, ketika kita berbicara isu sembako, ini adalah kebijakan politik, ditentukan oleh orang yang sedikit, bagaimana persoalan ini mempengaruhi hajat hidup orang banyak, sementara ini dianggap isu yang elitis,” ungkap Alfath.
Lebih lanjut, Alfath menjelaskan bahwa kacaunya nalar publik disebabkan oleh tiga hal. Mereka adalah manipulasi media sosial yang dilakukan oleh politisi dalam skala industri, politik programatik yang belum menjadi arus utama, serta dijadikannya kemiskinan dan kebodohan sebagai komoditas politik.
Sedangkan kompas moral, menurutnya, bermuara pada tiga hal. Pangkal masalah yang pertama adalah demoralisasi, lalu pangkal kedua adalah soal depolitisasi. Ia menilai bahwa belakangan ini sistem pendidikan mendorong kita menjadi individualis, mengabaikan orang sekitar, dan menekan diri kita untuk menjadi yang terbaik.
“Siklus kampus menjadi lebih ringkas, terjadi karena persoalan hyperindividualism, orang masuk kampus yang penting lulus cepat, nggak usah ikut BEM, LDK, atau demonstrasi, pokoknya bisa lulus dan kerja, “ ujar Alfath.
Persoalan terakhir adalah minimnya oposisi, di mana ia menilai selama satu dekade terakhir masyarakat sipil dilemahkan, kampus dibuat tuli, bahkan banyak di antaranya menjadi partisan karena mendukung kekuasaan. Ia menjabarkan satu pelajaran, bahwa alasan perlunya mengembalikan nalar publik dan kompas moral dalam kehidupan bernegara karena banyak persoalan hari ini terjadi di sekitar.
Ia menjelaskan dua hal yang harus dilakukan untuk memastikan nalar publik kembali ke dalam koridornya dan memastikan kompas moral berada sebagaimana fungsinya untuk menavigasi bangsa. Pertama, masyarakat tidak boleh lagi berjuang dan berbuat baik sendirian, melainkan berkolaborasi seperti yang tertuang dalam surah Al-Maidah ayat 2. Kedua, kelompok yang dianggap terdidik harus mempunyai kesadaran untuk aktif di lingkungan sekitarnya, dari level yang paling sederhana.
Di akhir, ia menegaskan bahwa kerusakan yang terjadi itu semua dapat terjadi karena kita memilih diam dan mendiamkan, ketika kita memilih untuk abai dan tidak berbuat apa-apa. Menurutnya, masa depan kemanusiaan bergantung pada sifat kritis manusia saat ini. (Meitha Eka Nurhasanah/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)