Ketua Takmir Masjid Kampus UGM, Dr. Rizal Mustansyir, M.Hum menyampaikan ceramah tarawih Ramadhan Public Lecture di Masjid Kampus UGM, Selasa (11/3). Dalam ceramahnya yang bertajuk “Pembangunan Islam Pasca-Positivisme”, Dr. Rizal yang juga merupakan Dosen Fakultas Filsafat UGM ini menjelaskan bahwa positivisme lahir dalam pergulatan antara agama dan ilmu pengetahuan saat itu.
“Positivisme sebagai suatu gerakan ditengarai terjadi di zaman Renaisans, di mana ilmu memisahkan diri dari agama karena agama dianggap terlalu intervensi dalam kehidupan ilmu pengetahuan pada masa itu”, ungkapnya.
Lebih lanjut, Dr. Rizal menjelaskan positivisme sebagai suatu gerakan pertama kali muncul di Eropa dan memiliki pengaruh ke seantero dunia yang tujuannya adalah untuk membawa kemajuan sains. Paham ini memiliki semboyan “ilmu hanya untuk ilmu” (science to science), di mana ilmu memiliki sifat otonom dan tidak boleh diintervensi oleh berbagai macam ideologi, agama, budaya, dan sebagainya. Tujuan utamanya adalah membangun semangat objektivitas.
Adapun beberapa ciri positivisme di antaranya menolak dalil teori terutama yang berhubungan dengan agama, keberadaan Tuhan, kematian, surga dan neraka, dan sebagainya karena dianggap tidak memberi efek apa-apa kepada ilmu pengetahuan. Ciri lainnya ialah meletakkan basis keilmuan pada data yang bersifat empiris dan naturalistis, yang artinya realitas alam tunduk pada hukum alam yang sifatnya konstan Terakhir, positivisme hanya mengakui mono-metodologi, tunggal dalam mencapai kebenaran.
Dr. Rizal menambahkan, positivisme memiliki dampak positif yang bahkan bisa kita rasakan sampai hari ini. Beberapa di antaranya ialah kemajuan pesat saintek dan ilmu pengetahuan manusia; gerak linear kemajuan sains dan teknologi (saintek) terus berkembang seakan-akan tidak memiliki titik henti; berbagai temuan dan inovasi ilmuwan melahirkan semangat optimistik di kalangan masyarakat.
Menurutnya, dampak negatif positivisme ialah ketika manusia mulai kehilangan jati dirinya ketika perannya diambil alih oleh kecerdasan buatan; melahirkan tekanan psikologis bagi manusia akibat kemajuan saintek yang begitu pesat; semangat sekularisme antara sains dan agama seolah-olah kedua hal tersebut tidak bisa dipadukan.
Lebih lanjut, Dr. Rizal menjelaskan bagaimana pembangunan manusia pasca-positivisme ini. Manusia terdiri tidak hanya dari satu unsur tetapi dari unsur rohani-jasmani, spiritual-material, jiwa dan raga, sementara semangat positivisme meminggirkan aspek spiritual dan hanya melihat aspek material saja.
Di dalam Islam, penekanan pada satu aspek saja membuat hidup menjadi tidak seimbang. Dari sini, ia mengatakan prinsip tawazun (keseimbangan hidup) menjadi sangat penting.
Terakhir, ia menyampaikan bahwa yang lebih penting dari kehidupan kita adalah bertawazun. Hal ini agar kemajuan saintek tidak melibas kehidupan kepribadian kita, tetapi justru lebih membuat kita mendekatkan diri kepada Allah. (Khirgi Rafimar Athifari/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)