Dai asal Yogyakarta, Ustaz Salim A. Fillah berbicara tentang buku sastra sejarah Jawa legendaris, Babad Tanah Jawi, pada ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H di Masjid Kampus UGM, Ahad (10/03). Ustaz Salim mencatat, aspek yang paling menarik dari sejarah penulisan Babad Tanah Jawi adalah penyebutan babad untuk suatu penulisan oleh orang Jawa pasca tradisi Islam. Orang Jawa pada masa itu menggunakan diksi babad untuk menggambarkan berdirinya suatu peradaban baru yakni peradaban Islam.
Menurutnya, diksi babad secara bahasa termasuk ke dalam kelompok kata kerja yang diartikan sebagai kegiatan memotong tanaman dengan sabit atau parang dalam rangka membuka lahan yang baru. Hal ini selaras dengan konsep al nafyu sumal itsbātu yang merupakan rukun dari kalimat syahadat laa ilaaha illallaahu. Konsep tersebut bermakna tidak ada segala sesuatu yang berhak untuk disembah lalu melakukan isbat illallaah (selain Allah).
Lebih lanjut, orang Muslim Jawa pada saat itu memahami bahwa ada penafian yang harus dilakukan pada segala sesuatu yang telah tumbuh di era sebelumnya. Hal ini untuk menyemai suatu peradaban baru berdasarkan nilai-nilai yang baru.
“Kenapa babad itu penting? Karena untuk mendapatkan satu lahan yang bersih, satu lahan yang baik untuk menyemaikan tanaman yang baik seperti yang ada di dalam Al-Quran bahwa Allah menunjukkan itu dalam tamsil tanaman,” katanya.
Menurutnya, tamsil tanaman yang dimaksud terdapat dalam Surat Ibrahim ayat 24-25, berupa perumpamaan pohon yang baik, pohon yang akar-akarnya menghujam ke tanah dan cabang-cabangnya yang menggapai langit, menggambarkan kokohnya akidah seorang manusia. Sedangkan pada ayat ke 25, Allah mengumpamakan manusia yang memberikan buah akhlak yang mulia seperti memberikan buah setiap musim dengan seizin Tuhannya. Ini artinya, Babad Tanah Jawi tidak hanya sekedar menceritakan berdirinya kerajaan Islam di Jawa dan membawakan peradaban baru bagi masyarakat, namun juga membawa pesan-pesan simbolik kepada para pembacanya hingga masa kini.
Ustaz Salim menerangkan bahwa simbol-simbol tersebut diletakkan ke berbagai perkara sehari-hari yang mengandung nilai filosofis dan berbagai value untuk diwariskan kepada anak dan cucu kelak. Menurutnya, isi Babad Tanah Jawi begitu simbolis dan tidak bisa dimengerti secara harfiah (letterlijk).
“Kecenderungan Babad Tanah Jawi adalah menceritakan semua peristiwa yang terjadi sembari menjaga harmoni dan menjaga kehormatan figur-figur yang dihormati di masa lalu,” katanya.
Oleh karena itu, katanya, Babad Tanah Jawi mengajarkan kepada pembacanya bahwa orang Jawa sangat menghormati orang tua dan penuh makna filosofis. Lebih lanjut ia menyampaikan, buku ini menunjukkan cara orang Jawa menghormati leluhur dan menceritakan masa lalu mereka kembali dengan simbol. Sekaligus, memahami cara berpikir orang Jawa dalam menerima perubahan yang terjadi.
“Membaca Babad Tanah Jawi bagi kita adalah memahami cara berpikir orang Jawa”, ujarnya. (Muhammad Rizal Effendi/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Tim Media Masjid Kampus UGM)