Guru besar UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah, S.Ag., M.Hum., M.A. menyebut bahwa peran Khadijah binti Khuwailid sebagai istri Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya sebatas sebagai anak, istri, dan ibu saja, melainkan juga sebagai dirinya sendiri yang merupakan bagian dari masyarakat. Dengan demikian, ia tidak memposisikan dirinya sebagai seseorang yang dipinggirkan begitu saja usai menikah. Demikian seperti disampaikan pada Women Institute Indonesia (WII): Perempuan dan Agama, Kamis (7/6).
Dalam WII sesi 16 bertajuk “Khadijah binti Khuwailid : Pengorbanan dan Keikutsertaannya dalam Dakwah Islam” itu, Prof. Inayah mengisahkan bahwa Khadijah besar di lingkungan masyarakat kesukuan seperti Suku Quraisy yang menonjolkan patriarki untuk mempertahankan suku dan menganggap perempuan layaknya barang. “Perjalanan hidup Khadijah itu (dapat sedemikian rupa) karena kultur yang mainstream (arus utama) itu menjamur di masyarakat,” ujarnya.
Lanjutnya, sebelum menikah dengan Rasulullah ﷺ, Khadijah sempat menikah dua kali dengan dua orang berbeda. Beliau menyebut bahwa, dengan Khadijah menikah di usia 40 tahun dan Rasulullah di usia 25 tahun, jika ingin “mengikuti sunnah Nabi” maka laki-laki tidak harus lebih tua dari perempuan agar dapat menikah. “Beliau (Khadijah) jatuh cinta karena Nabi Muhammad (ﷺ) itu digambarkan sebagai sosok yang sangat santun, (juga) amanah,” katanya.
Prof. Inayah, yang juga merupakan dekan Fakultas Ushuluddin & Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga ini, menggambarkan Khadijah sebagai sosok yang paling cerdas dan tangkas di antara keluarganya, sehingga beliaulah yang melanjutkan bisnis keluarganya setelah ayahnya wafat dan mampu menjadi saudagar yang kaya. Sosok saudagar kaya inilah yang, menurutnya, merupakan sisi yang kurang diangkat ketika membahas Khadijah. Prof. Inayah lantas memotivasi perempuan agar menjadi kaya supaya menjadi salihah. “Jadi kalau mau jadi perempuan salihah jadilah orang kaya seperti Khadijah, sehingga bisa mendukung suami dan keluarga untuk melakukan dakwah,” tuturnya.
WII: Perempuan dan Agama pada Kamis itu menjadi istimewa karena kegiatan tersebut merupakan yang perdana pasca-Ramadan 1444 H pada Maret dan April lalu. Seri kajian yang merupakan bagian dari kajian rutin WII setiap Kamis sore tersebut direncanakan akan terdiri dari tiga bagian, dengan bagian kedua (tentang ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq) dilaksanakan 15 Juni dan bagian ketiga (tentang Fatimah Azzahra) pada 22 Juni. (Rama S. Pratama)