Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada Dr. Agus Wahyudi, M.Si., M.A., Ph.D. mengatakan bahwa ide dasar Pancasila adalah ideologi persatuan, dengan tujuan awal menyatukan keragaman. Pancasila saat itu diajukan untuk menyatukan berbagai pendapat yang secara mikro ada di sidang BPUPK, tetapi menurutnya hal itu merupakan hasil dari refleksi panjang dari para pendiri bangsa. Demikian disampaikan pada Ceramah Tarawih Ramadan Public Lecture (RPL) 1444 H “Mewujudkan Pancasila sebagai Kenyataan dan Strategi Mengatasi Diabolisme Politik” di Masjid Kampus UGM, Kamis (20/4) lalu.
Menurutnya, spirit awal penyusunan Pancasila tak bisa dilepaskan dari struktur kolonial yang menimpa Indonesia sebelum merdeka. Saat itu terdapat kesadaran bahwa di bawah struktur kolonial orang-orang pribumi Indonesia tidak akan pernah mencapai kesetaraan seperti halnya kaum penjajah. “Ada pengertian bahwa struktur kolonial adalah suatu diabolisme (kejahatan) politik, struktur di mana kejahatan adalah bagian darinya dan itu suatu yg harus dihapus. Ini spirit kebangsaaan kita yang kita lestarikan sekarang,” ujarnya.
Sebagai dampaknya nasionalisme merupakan sesuatu yang dibutuhkan bangsa Indonesia, namun pada praktiknya paham nasionalisme memiliki sisi jahatnya sendiri seperti menjajah bangsa lain setelah merdeka. Dalam hal ini, Agus mengutip ilmuwan Max Weber dalam buku Politics as a Vocation, bahwa niat yang baik selalu membawa hasil yang baik dan begitu pula sebaliknya. Meski begitu, ia mengatakan bahwa ada konsekuensi yang tidak dikehendaki dalam pengambilan keputusan. “Kita merefleksikan bahwa dalam proses pengambilan keputusan tidak semua yang niatnya baik menghasilkan sesuatu yang baik,” lanjutnya.
Terkait tantangan Pancasila pascareformasi, Agus menjelaskan bahwa Pancasila berlaku pada tiga ranah implementasi; yakni privat/personal, masyarakat sipil, dan negara. Ranah privat dapat dilihat dari keluarga sebagai organisasi terkecil manusia, di mana konsepsi kebaikan dibentuk dan berkembang. Dalam masyarakat sipil, terdapat konsepsi kebaikan dan standar yang berbeda-beda, sehingga dengan Pancasila masing-masing perlu mengelola keragaman yang ada agar persatuan terjaga. Pada level negara, Pancasila sebagai dasar negara mengatur struktur dasar masyarakat, baik struktur politik, ekonomi, hingga budaya.
Menurutnya, perwujudan sila-sila Pancasila pascareformasi, yang juga mencakup perubahan pada cara interpretasi, perlu mencakup tiga ranah tersebut. Dalam mempelajari Pancasila, Agus menekankan pada perhatian terhadap definisi prinsip dan perbedaanya dengan kebijakan dan regulasi. “Saya kira salah kaprah Orde Baru adalah sebuah kebijakan [dicocokkan apakah] sudah sesuai atau tidak dengan sila [tertentu dalam] Pancasila. Padahal Prof. Notonegoro (pakar filsafat Pancasila UGM) tidak mengajarkan semacam itu, karena Pancasila adalah konsep yang sebetulnya adalah satu-kesatuan,” imbuhnya.
Agus menjadi penceramah Tarawih terakhir RPL 1444 H. Meski malam itu sayup-sayup takbir Idulfitri telah terdengar di sebagian wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, ceramah Tarawih ini diselenggarakan untuk mengakomodasi jemaah yang memutuskan merayakan Idulfitri berdasarkan sidang isbat yang ditentukan Kementerian Agama RI. Dengan demikian, 30 ceramah tarawih dan 14 Mimbar Subuh telah genap diselenggarakan pada RPL tahun ini. (Teks & Foto: Rama S. Pratama)