Pendiri Narasi Najwa Shihab, S.H., LL.M. menjelaskan bahwa setidaknya ada dua pendekatan untuk mengantisipasi media sosial: pendekatan internal berupa regulasi yang mengatur penggunanya, dan pendekatan internal berupa disiplin diri seperti mengasah kecerdasan digital serta mengolah emosi. Namun, Najwa melihat pendekatan eksternal akan ‘sedikit sulit’ dilakukan. “Hukum tidak bisa mengejar teknologi, sehingga regulasi tidak bisa diharapkan sepenuhnya, apalagi [bila] pembuatannya itu melalui proses politik,” ujarnya saat menjadi pembicara Diskusi Panel Ramadan Public Lecture 1444 H “Problematika Moral Jagat Media Sosial Indonesia”, Kamis (13/4) di Masjid Kampus UGM.
Mengenai hal ini, dosen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM Nyarwi Ahmad, Ph.D. yang juga menjadi pembicara pada diskusi ini mengatakan persetujuannya. Baginya, publik tak bisa mengandalkan regulasi karena media sosial ialah representasi diri sebagai manusia. “Dalam diri manusia ada yang dinamakan ruh spirit malaikat dan ruh spirit setan, sedangkan untuk manusia itu biasanya kita sebut humanistic spirit. Repotnya adalah mengingatkan humanistic spirit ini, karena setiap orang berbeda… punya kesadaran yang berbeda, pengalaman yang berbeda,” ungkapnya.
Hal yang lebih penting dari regulasi, lanjut Nyarwi, adalah membangun kesadaran di komunitas. Ketika masyarakat secara berkelanjutan (sustainable) menjaga dan menumbuhkan diri dengan baik seperti yang diharapkan, peran regulasi menjadi lebih sedikit. Maka dari itu, menurutnya, kesadaran benar-benar harus ditumbuhkan.
Najwa melanjutkan, cara lain untuk lebih bersahabat dengan media sosial adalah dengan membangun sistem pendidikan yang melatih daya kritis. Daya kritis ini memicu inovasi, sehingga informasi yang ada dapat diakumulasi menjadi informasi baru. Ia sadar bahwa pendidikan di Indonesia masih berfokus pada kecerdasan menghafal, namun baginya ini dapat diantisipasi dengan gemar membaca. “Baca apa saja, karena hal ini yang akan melatih kita untuk tidak cepat menghakimi sampai benar paham, sampai akhir atau titik permasalahan,” jelasnya dalam diskusi yang dimoderatori oleh dosen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM Zainuddin Muda Z. Monggilo, S.I.Kom., M.A. ini.
Dalam pernyataan penutupnya, Nyarwi menekankan pentingnya meningkatkan kemampuan mengelola media sosial, Beradaptasi, layaknya ikan di lautan yang bisa bertahan dengan situasi lautan apa pun dan berkembang tumbuh bersama dengan siapa pun, menurutnya harus dilakukan.
Senada, Najwa juga menyatakan bahwa adaptasi membekali diri dan orang di sekitar kita adalah kunci. “Daripada kita sibuk melarang orang main pedang, lebih baik kita membekali orang kemampuan untuk selihai mungkin bermain pedang. Karena orang yang pandai bermain pedang, tidak akan pernah terkena mata pedangnya sendiri,” pungkasnya. (Yahya Wijaya Pane/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Arya Hudia, Adilla Falasifah)