Dalam Surah An-Nahl ayat 74, Allah berfirman bahwa manusia terlahir dengan penglihatan, pendengaran, hati nurani, dan tanpa pengetahuan apapun. Ayat itu, menurut Prof. Dr. M. Solehuddin, M.Pd., M.A., menunjukkan betapa tidak berdayanya manusia ketika baru dilahirkan.
Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tersebut membandingkan manusia dan binatang ketika dilahirkan. Manusia lahir dengan tanpa daya, hanya kemampuan bernapas dan menangis. Berbeda dengan binatang yang terlahir dengan kemampuan menyerupai induknya. Akan tetapi, menurutnya, ketidakberdayaan manusia membuka potensi diri yang luar biasa, contohnya dapat dilihat dari perkembangan awal mula revolusi industri hingga kini.
Prof. Solehuddin mengutip salah satu sabda Rasulullah yang menjelaskan bahwa potensi yang dimiliki setiap manusia merupakan fitrah yang harus dikembangkan. “Setiap yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Mau jadi apa nanti, itu tergantung keluarga, artinya yaitu pendidikannya,” kutipnya dalam ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1444 H di Masjid Kampus UGM, Jumat (14/4).
Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia. Prinsip pendidikan Islam sendiri sejalan dengan misi utama Rasulullah, yaitu menyempurnakan akhlak manusia. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, menurutnya, hal ini diterjemahkan sebagai pendidikan yang tidak hanya mengembangkan kompetensi, tetapi juga karakter yang bermoral.
Dalam ceramah berjudul “Tanggung Jawab dan Peran Universitas Pendidikan sebagai Mercusuar Moral Bangsa” itu, beliau menyampaikan beberapa aspek moral yang menjadi barometer kualitas pendidikan. Pertama, karakteristik spiritual, yakni seperangkat aturan perilaku etis yang harus diikuti atau dihindari. Kedua, seperangkat prinsip dan keyakinan tentang cara berinteraksi yang baik dan buruk. Ketiga, perilaku seseorang dalam masyarakat.
Pendidikan Indonesia “Terlalu Akademis”
Prof. Solehuddin melihat kondisi pendidikan saat ini masih “terlalu akademis”. Hal itu dapat dilihat dari proses akreditasi yang berfokus pada komponen material, misalnya tata kelola, manajemen keuangan, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut mengakibatkan lemahnya proses pembelajaran yang mengembangkan kompetensi, karakter, dan kemampuan nalar serta literasi.
“Pendidikan yang terlalu akademik cenderung menafikan pembelajaran yang multidimensional. Itu juga menghilangkan aspek prinsip pendidikan Islam, yaitu moral dan kemanusiaan,” terangnya.
Menurutnya, untuk menanggulangi kondisi tersebut, ada dua kewajiban universitas. Pertama, universitas wajib membangun kompetensi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi supaya lulusan terdidik dapat bersaing di dunia global. Kewajiban kedua ialah membentuk manusia yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan.
Dalam hal ini, klaim beliau, UPI berupaya untuk mengisi peran perguruan tinggi yang mempersiapkan tenaga pendidik berkualitas dan berkarakter untuk jenjang pendidikan dasar hingga tinggi. UPI juga berupaya mengembangkan sistem kelembagaan pendidikan formal maupun non formal untuk membantu pemerintah menyelesaikan permasalahan pendidikan.
Prof. Solehuddin menganggap tenaga pendidik atau guru punya andil besar dalam pendidikan. Guru tak hanya pengajar yang mengampu satu atau beberapa pelajaran. “Peran dan fungsi guru mesti lebih luas. Guru memberikan kesadaran baru kepada murid. Maka dari itu, guru harus punya keterbukaan pikiran dan wawasan luas agar menjadi teladan,” pungkasnya. (Musyarrafah Mudzhar/Editor: Rama S. Pratama/Foto: Muhammad Iqbal Zaky Hussaini, Fadhila Shafa)